three

97 55 20
                                    

Selamat membaca!!

•••••

Sampai di depan ruang guru, Marga mengetuk pintu terlebih dahulu. Meskipun terkenal cuek dengan keadaan, dia masih ingat sopan santun kepada orang yang lebih tua.

Tak lama suara seorang pria menyuruhnya masuk ke dalam. Marga membuka pintu secara perlahan, kemudian berjalan masuk.

Di ruangan itu, terdapat beberapa guru yang masih siap-siap pergi mengajar ke kelas sesuai jadwal. Kecuali pak Makrus yang sudah sibuk dengan komputernya.

Marga masih berdiri di depan pintu dengan tegak, matanya mengedar melihat isi ruangan itu. Kemudian dia beralih menatap pak Makrus, "Permisi" sapanya.

"Silahkan duduk dulu" suruh pak Makrus yang mematikan komputernya. Pria itu mengambil beberapa kertas di atas meja, kemudian duduk berhadapan dengan Marga.

"Ada apa?" tanya Marga mendudukkan diri ke kursi yang sudah di sediakan. Dia sedikit membuka tudung Hoodie yang menutupi wajahnya. Hanya setengah, tidak seluruhnya.

"Kamu sakit?" tanya pak Makrus heran, pasalnya muridnya yang satu ini selalu memakai jaket atau kalau tidak cardigan saat ke sekolah. "Lepas jaket kamu atau saya razia" ancamnya.

"Tidak bisa" tolak Marga mentah. Dia menatap pria itu tidak suka, menurutnya guru ini terlalu mengurusi hidup muridnya. "To the point pak. Kalau tidak ada kepentingan, saya bisa pergi" katanya dingin.

Pak Makrus menghela napas pasrah, dia menatap Marga serius "Ya sudah. Saya dengar, kamu hobi menggambar ya?"

Marga hanya diam, hobi menggambar? Emang sejak kapan?
Tangannya bersidekap di depan dada, matanya menatap pak Makrus lekat. Dia menunggu kelanjutan ucapan pria itu tanpa mau menjawab terlebih dahulu.

"Kebetulan, ini ada kesempatan pameran seni. Guru-guru sepakat memilih kamu, dan saya juga yakin lukisan kamu bagus" Pak Makrus memberikan satu lembar brosur kepada Marga.

Marga langsung menerimanya, dengan teliti matanya membaca isi brosur itu. Dia tidak tertarik sama sekali. Menggambar hanya sekedar kesehariannya saja untuk mengisi waktu luang. Dia meletakkan kembali lembar itu di atas meja. "Saya tidak minat" kata Marga malas.

"Saya tidak bertanya kamu minat apa tidak. Saya menyuruh kamu untuk mengikuti pameran seni dan ikut membuktikan kalau kamu bisa melukis." ujar Pak Makrus tegas. Pria itu mengambil bolpoin, lalu mengisi nama lengkap gadis itu pada kolom yang digunakan untuk mengisi format pendaftaran.

Pemaksaan, batin Marga sinis. Dia menghembuskan napasnya "Anak lain juga bisa kan pak?" tanyanya.

"Saya maunya kamu yang ikut." kata pak Makrus menekankan keinginannya.

"Saya belum mengiyakan" tolak Marga sedikit emosi.

Pak Makrus tak mengindahkan ucapan gadis itu, "Tolong dipersiapkan dengan baik". Dia menyodorkan formulir itu lagi kepada Marga. "Tanda tangan sekarang" suruhnya tanpa mau dibantah.

Dengan terpaksa Marga menggambar tanda tangan di atas tulisan nama lengkapnya. Setelah selesai, dia menaruhkan kembali lembaran itu di atas meja lalu segera berpamitan keluar.

Barusaja membuka pintu, Marga dikejutkan oleh dua orang yang lagi mengintip. Beruntung keduanya tidak ikut terdorong oleh pintu. Marga pun memutar kedua bola matanya malas.

Sedangkan Syla dan Devan menunjukkan cengirannya. "Kenapa dipanggil pak Makrus Ga?" tanya Devan menggaruk tengkuknya yang terasa gatal.

Bukannya menjawab, Marga malah berjalan duluan meninggalkan kedua orang tersebut.

Devan pun mengikutinya dari belakang, disusul Syla juga. "Ga?" Syla memiringkan wajahnya melihat wajah datar Marga sambil mensejajarkan langkahnya.

Marga hanya diam. Tepat di lorong kelas berbelok menuju kamar mandi, dia menghentikan langkah. "Gue mau ke toilet, kalian mau ikut?" tanyanya datar.

"Ikut" kata Syla dan Devan bersamaan.

Dan jawaban itu membuat Marga mengumpat pelan "Sinting" dia kembali melanjutkan langkahnya ke kamar mandi. Di ikuti oleh Syla dan Devan di belakang.

Sedangkan kedua siswa-siswi tersebut mengurungkan niatnya mengikuti Marga ke kamar mandi. Mereka berjalan beriringan menuju kelas lagi. Sembari bercanda gurau, meskipun harus di selingi gosip orang lain yang menjadi topiknya.

"Eh lo tau nggak Dev?" tanya Syla sedikit merapatkan tubuh ke laki-laki di sampingnya karena ada segerombol senior berjalan angkuh yang berlawanan arah dengannya.

Dengan sebuah kipas yang mengiringi setiap waktu, tak lupa bibir mereka yang berwarna kemerahan. Persis tante girang, batin Syla.

Dengan polos Devan menggeleng, "lo belum ngomong, anying"

"Ya makanya dengerin dulu" balas Syla menoleh ke belakang sekilas, memastikan orang yang di gosipkan sudah jauh dari posisinya.

"Lagian lo nanya gue duluan"

"Tuh senior mulutnya minta di sosor bebek kali ya" ujar Syla dengan enteng.

Sontak Devan menyentil kening gadis itu membuat Syla mengaduh kesakitan. "Lo kalo ngomong di saring dulu kek. Tapi emang niatnya gitu kali" balas Devan mengompori ungkapan gadis di sampingnya.

"Mana jalannya mirip bebek" kata Syla lagi.

"Bisa jadi nanti lo juga kek gitu" sahut Devan lalu berlari lebih dulu memasuki kelas.

Ya, mereka sudah berada di depan kelasnya tanpa sadar. Suasana kelas masih terdengar ramai dari luar. Sudah dipastikan guru pembimbing belum datang mengajar.

"Sialan, lo Dev!" teriak Syla ikut mengejar masuk ke dalam kelas. Sampai akhirnya mereka masih beradu mulut di bangkunya.

"Gue doain lo jomblo seumur hidup" sergah Syla sembari menarik seragam Devan dari belakang. Posisi mereka yang duduk depan-belakang membuatnya dengan mudah saling beradu.

"Semoga kembali ke orangnya," balas Devan berusaha melepas cengkeraman pada bajunya yang sudah kusut sekarang.

"Emang jodoh berawal dari adu mulut" sahut Toni yang sedari awal melihat jengah perlakuan mereka berdua. Sudah biasa sih sebenarnya, tapi kalo dilihat lama-lama ranya juga pengen nikahin dua titisan itu.

"Kalo kata emak gue, jodoh itu cerminan diri sendiri" sahut Redo memakan jajan chiki kentang. Dia duduk di atas meja menghadap Toni yang berada di samping Devan.

"Ini contohnya. Devan yang suka gosipin orang pantes sama cewek yang diajak gosip tiap hari" tambah Toni menghentikan Devan dan Syla melakukan aktivitas mereka.

"Apaan maksud lo" sentak Syla dengan garang, berdiri dari kursi hendak menjambak rambut Toni, namun urung.

"Santai dulu Bu. Ini ada tambahan stamina biar badan tetap segar dan bugar" canda Redo yang entah darimana tiba-tiba menyodorkan sebuah Tumbler minum berwarna pink.

"Redo! Itu Tumbler gue!" teriak Syla bertambah garang. Dia sudah berkacak pinggang menatap laki-laki itu horor. "Balikin nggak?" desisnya.

"Mampus, Mak lampir marah" batin Devan menepuk keningnya pelan.

•••••

komen yuk yang mau😭

tunggu part selanjutnya
see you next👋

MARGAREZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang