two

88 60 19
                                    

Selamat membaca!!

••••

Marga duduk di atas kursi kayu tepat di bawah pohon mangga taman belakang. Tak peduli jika roknya kotor dengan debu yang menempel karena tempat itu jarang dibersihkan. Bahkan malah tidak pernah dan dibiarkan begitu saja.

Gadis itu membuka resleting tasnya, lalu mengeluarkan buku gambar dan juga pensil berwarna silver. Saat hendak membuka lembaran, dia dikejutkan oleh suara pukulan yang terdengar tidak jauh dari tempatnya duduk. Meskipun dia sudah mengenakan earphone, tapi suara adu jotos itu cukup keras sehingga mengganggu ketenangan.

Bugh

"Berani nya cuma di belakang!" teriak siswa yang sudah terlihat babak belur.

"Sampah!" balas satunya yang tak kalah sama kondisinya.

Kepalanya menoleh ke sumber suara, matanya menyipit melihat ada dua siswa laki-laki yang saling menghajar.

Perkelahian semakin brutal, siswa yang lain hanya melihat tanpa ada yang berniat melerai keduanya. Bahkan malah saling menyoraki kubu mereka masing-masing.

Tak lama kemudian ada segerombolan siswa yang Marga yakini pasti anggota OSIS yang sudah ditugasi untuk memisah mereka. Sudah jelas dan sekarang terlihat saling menyeret siswa berandal tersebut menuju ruang BP membawa keduanya pergi.

Marga bersikap acuh dan kembali fokus pada buku gambarnya. Dia menatap lembaran yang masih kosong sambil menimang apa yang akan dia gambar kali ini. Matanya terpejam membayangkan objek yang terngiang di otaknya. Setelah sudah mendapatkan ide, dia mulai menggoreskan pensilnya pada lembaran itu.

Belum sempat menarik garis menjadi bentuk lingkaran, dia dikejutkan lagi oleh teriakan seseorang. Kepalanya menoleh menatap Syla dan Devan berlari ke arahnya. Dia mendengus kemudian menatap keduanya tajam.

Sampai di hadapan Marga, Syla membungkukkan tubuhnya mengatur napasnya yang ngos-ngosan, tangannya bertumpu pada lengan Devan. "Huh... capek gue" keluh Syla menepuk dadanya yang terasa sesak.

"Lo sih, ngapain ngajak lari" Devan mengomel sambil mengelap keringat yang mengalir di keningnya dengan punggung tangan.

"Apa?" tanya Marga datar. Turun sudah mood-nya saat ini. Niatnya mencari ketenangan malah terus mendapat sial yang mengganggu. Akhirnya dia memilih membereskan buku serta pensilnya lalu memasukkan kembali ke dalam tas.

"I-itu..." Syla masih terengah-engah dengan napasnya, tapi dia terlihat memaksa untuk memberi tahu informasi. "Itu... Lo di cari pak Makrus tadi"

Marga mengerutkan dahi menatap Syla bingung. Pasalnya, cewek itu hanya memberi informasi setengah, membuatnya sedikit merasa kesal. "Dimana?" tanyanya lagi.

"Tadi lo dicari pak Makrus. Tapi karena lo nggak dikelas, jadi disuruh ke ruang guru langsung" sahut Devan melepas dasinya yang terasa mencekik leher.

Meskipun Marga sedikit merasa bingung, dia tetap beranjak akan menemui wali kelasnya tersebut. Dia berdiri sembari menepuk roknya yang kotor mungkin terkena debu. Setelah cukup, dia langsung meninggalkan kedua temannya yang masih merilekskan tubuh di situ.

"Kok malah ditinggal? Bukannya terimakasih dulu!" teriak Devan merasa tak terima dengan respon yang gadis itu berikan. Padahal Devan sudah effort berlari kesini demi memberitahu hal itu. Sialan tuh cewek, batinnya menggerutu.

Marga menghentikan langkahnya yang belum jauh, kemudian menoleh sedikit ke belakang, "thanks" ujarnya dengan nada dingin.

Syla yang melihat itu tersenyum tipis, kemudian mengangkat jempolnya ke atas. Beda lagi dengan Devan yang masih misuh-misuh di tempat.

"Tau tuh, masa cuma gitu aja responnya" gerutu Devan menekuk kepalanya ke bawah.

"Mana mungkin Marga langsung roll depan setelah dikasih tau info kaya gitu" kata Syla sembari menarik lengan Devan agar segera pergi ke kelas lagi. Karena pembelajaran jam pertama pasti sudah dimulai sekarang.

"Gak usah ditarik juga" sentak Devan menepis cekalan gadis di sampingnya itu. Membuat Syla berdecak lalu mempercepat langkahnya.

Marga berjalan menuju ruang guru dengan langkah lebar, di pundak kanannya terdapat tas ransel yang tersampir. Berjalan dengan tudung Hoodie yang menutupi kepalanya, serta kedua tangan yang dimasukkan ke saku.

"Sok cuek."

"Masih kelas sebelas aja udah belagu."

"Sombong amat tuh bocah"

Beberapa cibiran siswa terdengar tak mengenakkan di telinga gadis itu. Namun, Marga tak mau ambil pusing dengan meladeni senior yang suka menghujat orang lain. Kayak gini contohnya.

Terlalu ribet harus ngurusin hidup orang, batinnya.

Ada juga beberapa siswa yang menyapanya dengan ramah. Dia pun hanya menoleh sekilas dan tetap melanjutkan langkahnya. Meskipun itu kakak kelas, toh bukan masalahnya bukan? Sudah baik dia mau menoleh.

••••

Next -
tunggu part selanjutnya

MARGAREZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang