twenty six

18 8 0
                                    

Selamat membaca!!

°

Di salah satu bilik UKS, seorang laki-laki berseragam duduk di sisi brankar. Menatap lekat wajah Marga yang pucat pasi. Raxel menunggu gadis itu siuman dari pingsannya. Raxel merasakan detak jantungnya berdebar ketika berada di dekat gadis berHoodie itu. Seolah ada sesuatu yang membuat kondisi jantungnya tidak aman. Ada euforia yang menggugah hatinya saat ini.

Lamunan Raxel buyar ketika suara gadis menginstruksi. Laki-laki itu menoleh pada gadis PMR yang kini berdiri di dekat brankar. Tidak terlalu jauh dengan posisi Raxel.

"Kak, nanti kalau kakaknya ini udah siuman suruh minum obat ya," pesan gadis yang mengenakan handuk PMR di kerah seragam. Naya, seorang petugas PMR yang berjaga di UKS hari ini. "Saya izin keluar dulu," lanjut Naya mengangguk sopan, kemudian berjalan keluar ruangan.

Raxel hanya mengangguk singkat, melihat gadis bernama Naya itu melangkah pergi. Kemudian tatapannya beralih pada gadis yang terbaring di brankar. Tangan kirinya terangkat hendak menyentuh dahi Marga yang mengeluarkan peluh keringat. Dengan hati-hati Raxel mengusapnya. Berusaha tak mengusik ketenangan wajah damai Marga saat tak sadarkan diri.

Beberapa menit kemudian, Raxel mulai merasakan bosan berada di UKS. Sengaja meninggalkan upacara dengan alasan menemani Marga hingga siuman hanyalah bualan supaya bisa kabur dari ceramah kepala sekolah. Dan kini Raxel merasakan dampaknya. Alhasil laki-laki itu bangkit dari duduknya, melangkah keluar bilik UKS. Meninggalkan Marga terbaring seorang diri disitu.

Bertepatan dengan Raxel keluar, Marga baru membuka kedua matanya. Pandangan gadis itu langsung tertuju pada langit ruangan yang bernuansa putih. Bau khas obat-obatan menyengat di indra penciumannya. Marga menyadari bahwa dirinya sekarang berada di UKS. Dia meringis pelan, kepalanya masih terasa berat sekedar untuk mendudukkan diri.

Netra Marga beralih menatap pintu UKS yang terbuka melalui celah tirai yang sedikit menyibak. Terlihat seorang laki-laki yang akhir-akhir ini merasa dekat dengannya menutup pintu kembali setelah masuk. Dengan sebuah roti serta sebotol air minum di tangannya.

"Udah siuman lo?" celetuk Raxel yang menyibak tirai. Dia baru menyadari Marga sudah siuman.

Marga tentu menjawab datar seperti biasa, "Menurut lo?"

"Gue kira udah mau sekarat," balas Raxel dengan santai mendudukkan diri ke sisi ranjang.

"Bege."

"Makan!" titah Raxel menaruh sebuah roti ke pangkuan gadis itu.

Marga enggan menerima, "Ngapain lo kesini?"

Laki-laki bermodel rambut Comma Hair itu mendengus jengah, "Masih untung gue gendong daripada harus diseret."

"Kalo gak ikhlas mending gak usah," sewot Marga.

"Makan! Gak usah simulasi jadi mayat." Raxel sedikit menekan kata 'mayat' pada ucapannya. Sengaja menyindir muka gadis cuek itu yang masih pucat.

"Mayat itu mati. Dan gue masih hidup."

"Hidup?" laki-laki itu terkekeh garing sengaja dibuat atas keterpaksaan, hingga suaranya terdengar menguar di udara. "Raga lo emang hidup, Ga. Tapi mental lo? Yakin masih sehat, setelah dibantai habis-habisan sama bapak lo sendiri. Bahkan .... Kondisi tubuh lo yang penuh luka itu, gimana?" tanya Raxel menatap kedua manik Marga dengan serius.

Tubuh Marga menegang, seketika hawa di ruangan itu menjadi tidak mengenakkan. "Kenapa sama mental gue?"

"Mata yang penuh frustasi itu ada, Ga. Tatapan datar lo itu bentuk penutup rasa sakit dari mental dan hati lo kan?"

MARGAREZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang