six

80 53 10
                                    

Selamat membaca!!

••••

Matahari sudah mulai tenggelam di sisi barat. Cahaya juga mulai meredup menandakan siang akan mulai berubah menjadi sore hari. Banyak kicauan burung yang saling bersahutan di pohon-pohon sekitar. Sangat merdu masuk ke gendang telinga manusia yang berada di tempat itu.

Taman rumah yang berada di belakang sangat sejuk menemani Marga bersantai seusai pulang sekolah tadi. Tubuhnya masih terbalut Hoodie berwarna hitam yang biasa dia pakai setiap hari.

Kini dia duduk di gazebo kecil menghadap greenhouse milik Dewi yang telah dirawat baik-baik oleh pemiliknya. Terdapat beberapa tanaman bunga yang tumbuh subur disitu. Warna hijau daun dan warna-warni bunganya yang mekar menambah kesan indah, sangat enak di pandang melalui mata.

Marga duduk bersila tanpa melepas sepatunya. Tangannya menyangga berat tubuh di belakang. Tak lupa kedua netranya terus menatap ke depan tanpa berkedip. Ya, dia sedang melamun. Menghiraukan suara bising hewan di sekitarnya.

Tak lama suara langkah derap kaki terdengar mendekat ke arahnya. Namun, Marga belum menoleh dan masih asyik bergulat dengan pemikirannya sendiri.

Seorang wanita cantik yang belum terlalu tua berjalan anggun ke arah Marga. Dengan baju khas rumahan ala emak super gosip melekat di tubuh wanita itu.

Dia Dewi Indahsari. Yang tak lain adalah ibu Marga sendiri. Wajah lugu tak mengindahkan kelembutan yang terpancar dari wanita itu. Bersifat lembut dan sabar itulah kebiasaannya.

Dewi tersenyum tipis melihat anaknya yang sedang melamun sendirian. Dia mendudukkan diri di samping Marga tanpa memulai percakapan. Ikut melihat ke depan, persis yang dilakukan gadis SMA yang berada di sampingnya ini.

Marga yang baru tersadar langsung menoleh ke kanan sekilas. Dia mengalihkan pandangan ke arah lain. Terdengar helaan napas yang keluar dari mulut gadis itu.

Dia menegakkan tubuhnya seraya memperbaiki letak tasnya yang hampir jatuh ke bawah. Memang dia tadi belum sempat menaruh tasnya ke dalam rumah, alhasil langsung menuju taman belakang. Kini Marga masih enggan bersuara apapun.

Dewi menyentuh lengan Marga lembut dan amat pelan. Bahkan Marga tidak merasakan di sentuh sama sekali rasanya. "Marga" panggilnya mengalun indah di telinga gadis di sampingnya.

Marga berdehem kecil menetralkan mimik wajahnya yang sempat gelisah. Dia belum mengeluarkan sepatah kata pun meskipun sudah dipanggil oleh Dewi.

Ya begitulah sifatnya. Dingin dan datar oleh siapapun. Bahkan oleh ibunya sendiri. Di rumah dan di sekolah dia selalu bersikap seperti itu. Cenderung memiliki sifat tertutup tak mau terbuka sama orang lain.

"Marga belum mau masuk rumah? Ini udah mau Maghrib lho, nggak baik anak gadis Maghrib-maghrib di luar rumah." tutur Dewi sembari tersenyum menatap wajah anaknya dari samping. Sungguh cantik sekali anak satu-satunya yang dia punya ini. Sayang, dia terlalu dingin ke orang lain.

"Bunda masuk duluan. Nanti Marga nyusul" balas Marga. Dia melepas tangan Dewi yang masih memegang lengannya dengan gerakan pelan.

"Yaudah, nanti bunda panggil lagi kalo belum masuk rumah." kata Dewi sebelum beranjak dari duduknya.

Marga mengangguk mengiyakan. Matanya beralih melihat punggung Dewi yang berjalan masuk menuju pintu dengan tatapan tanpa ekspresi.

Kemudian Marga melepas Hoodie yang membalut tubuhnya seharian ini. Menyisakan seragam putih yang dia pakai ke sekolah. Seharian memakai Hoodie membuatnya sedikit merasakan gerah di area badan. Namun, semua itu mempunyai alasan yang membuat dia harus betah memakai Hoodie.

Terlihat lengan kirinya yang masih memar bekas cambukan kemarin malam. Belum lama dan belum diobati sama sekali. Sedikit mengeluarkan darah yang hanya mengering di area lukanya. Menatap datar pada lengannya, kemudian dia beranjak mendekati kran air di dekat Greenhouse.

Marga membasuh lukanya dengan air yang mengalir. Sedikit meringis merasakan perih sembari mengusapnya. Setelah luka sudah terlihat bersih dari darah kering, dia mematikan kran dan kembali duduk di gazebo. Mengambil obat merah dari dalam tas yang sudah dia siapkan berjaga jika ada kecelakaan kecil yang tak diinginkan.

Seusai mengobati lukanya, dia membereskan tasnya lalu beranjak dari duduknya. Seraya menyampirkan Hoodie di pundak kanan dengan tangan kiri yang memegang tas. Melangkahkan kaki jenjangnya menuju pintu masuk ke dalam rumah.

°

Ruangan persegi yang tidak terlalu lebar, dengan warna tembok yang dominan putih dan abu-abu. Terdapat sebuah kasur king-size yang cukup untuk dua orang, meja belajar berwarna coklat tua, meja rias, lemari pakaian, dan terdapat juga ruangan guna bersih diri.

Tidak ada foto figura yang terpasang di tembok layaknya kamar perempuan pada umumnya. Hanya beberapa hasil seni lukis yang terpajang di tembok sebelah meja belajar. Itu saja hasil sketsa milik Marga yang menurutnya bagus. Jadi dengan niat dia menempelnya di tembok.

Suara gemericik air terdengar dari kamar mandi. Cukup menandakan bahwa pemilik kamar itu sedang membersihkan diri setelah dari taman belakang tadi.

Beberapa menit kemudian, Marga keluar dari kamar mandi hanya mengenakan lilitan handuk yang membungkus tubuhnya seperempat. Otomatis kaki jenjangnya masih kelihatan mulus nan putih jika dilihat. Dengan segera dia memilih pakaian yang akan dikenakan di dalam lemari.

Sudah mengenakan pakaian berupa kaos oblong berwarna hitam sebagai atasan dan hotspant berwarna biru navy. Terkesan gelap dan itulah warna kesukaan gadis berambut sebahu itu. Mengambil sisir rambut di meja rias, lalu berjalan menuju brankar.

Kini Marga berposisi tengkurap di atas kasur sembari memandang buku gambarnya yang masih kosong. Tangan kanan memegang pensil hijau dan tangan yang satu menumpu dagunya sendiri. Matanya menelisik kertas putih itu dengan tajam. Bukan memelototi, tapi sedang memikirkan ide yang akan dibuat objek menggambar kali ini.

Bergulat dengan pikiran adalah kebiasaan seseorang sebelum menemukan tema yang pas. Itu hal wajar yang sudah terjadi pada umumnya. Marga beralih mendongak ke arah kanan.

Tatapannya terpaku pada sebuah gambar sketsa wajah seorang laki-laki yang sengaja dia gambar random. Tapi tak bisa dipungkiri dia sendiri merasa kagum pada sosok di gambaran itu. Tersadar Marga menggeleng pelan. Stres, yang ada di pikirannya kali ini.

Tiba-tiba pintu kamar terdengar diketuk oleh seseorang.

Tok tok tok

"Marga lagi tidur ya?" suara Dewi terdengar samar memasuki gendang telinga Marga. Segera dia beranjak tanpa menyahut balasan terlebih dahulu.

Kakinya melangkah menuju pintu, lalu membukanya dari dalam. Marga melongokkan kepala sambil berkata "ada apa?" ya, seperti biasa hanya nada datar yang keluar dari mulutnya.

Dewi tersenyum sebelum menanggapi, "Ayo makan malam! Ayah sudah menunggu di meja makan" serunya terdengar senang. Lalu wanita itu menarik tangan Marga tanpa aba-aba.

Sedangkan Marga yang ditarik hanya pasrah mengikuti langkah bunda Dewi. Di sepanjang jalan, pikirannya malah menegang kaku. Dia tetap berusaha baik-baik saja sampai menuju tempat makan berada.

••••

tunggu part selanjutnya
see you next👋

MARGAREZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang