thirty

39 18 12
                                    

Selamat membaca!!

°

"Ini terlalu pahit, Dewi!" teriak Rayyan marah terhadap istrinya.

"Maaf, mas" ujar Dewi lirih seraya menunduk. Wanita itu tidak berani mengangkat wajahnya kendati bertatapan langsung dengan Rayyan.

"Sudah berapa kali aku bilang, banyakin gulanya kalo bikin kopi itu"

"Maaf. Aku gak akan mengulangi lagi nanti."

"Dasar tidak becus." cecar Rayyan, lalu beranjak pergi dari dapur.

Cuaca dingin sangat menyengat kulit pagi ini. Marga duduk di kursi teras seorang diri. Dengan seragam almamater yang kali ini tertutup sweater hitam. Menatap datar ke arah jejeran pot bunga di dekat pagar dengan pikiran yang kosong.

Suara gaduh dari dalam rumah membuat Marga lagi-lagi menghela nafas berat. Mata sayu nya yang kekurangan tidur tercetak jelas. Alih-alih segera berangkat, dia harus menunggu Raxel agar bisa ke sekolah. Ini akibat sepeda motornya yang masih tertinggal di parkiran sekolah sejak kemarin.

"Kamu mau bolos sekolah juga, hah?" tanya Rayyan masih terdengar marah. Pria itu barusaja menapakkan kakinya keluar rumah dan menemui Marga yang belum berangkat. Amarah yang dipendam sedari tadi kini terealisasikan sekarang.

Marga tersentak, menoleh ke arah pria itu berdiri. Kedua netranya meneliti area wajah Rayyan yang mengerut, kentara sekali pria itu sedang marah pagi ini.

"Enggak."

"Kenapa duduk disitu kalau enggak bolos?" Rayyan menyahut tidak santai.

Marga tidak membalas ucapan sang ayah. Dia beranjak ketika melihat orang yang ditunggunya sudah sampai. Si pengendara  motor hijau berhenti di depan gerbang. Mengenakan pakaian abu-abu putih persis yang dikenakan Marga saat ini.

Gadis itu melangkah lebar dengan kedua tangan masuk pada saku sweater. Mengabaikan tatapan Rayyan yang mengikutinya hingga Marga berhenti di dekat si pengendara motor hijau itu.

"Buru." Ujar Marga setengah menyentak. Gadis itu menerima uluran helm dengan cara yang kasar.

"Apa?" tanya Raxel berpura-pura tidak paham. Dia menatap wajah kesal Marga sembari menahan kedutan di bibirnya. Raxel dapat melihat dari kerutan di dahi Marga yang terlipat jelas.

Kemudian beralih menoleh ke arah rumah Marga dengan mata yang menyipit. Gagasan langsung muncul di otaknya ketika melihat seorang pria yang menatap ke arah mereka dengan pandangan tajam. "Tajam bener tatapan ayah lo," ucap Raxel kembali menghadap Marga.

"Buruan, Xel." Bukannya menanggapi celetukan Raxel, Marga segera naik ke jok belakang motor laki-laki itu. Menepuk dua kali dengan keras, mengode agar segera jalan.

"Aelah, gue bukan grab anjir." Raxel berucap sembari menyalakan starter motornya. Menarik gas dengan kecepatan sedang menuju jalanan.

Udara pagi yang menyengat langsung menusuk kulit mereka meskipun sudah memakai jaket. Selama dalam perjalanan, mereka sama-sama memilih bungkam. Tidak ada yang membuka perbincangan hanya sekedar mengisi keheningan. Jalan belum terlalu ramai kendaraan, yang kebetulan jam masih menunjuk pukul enam lebih tiga puluh lima menit. Jadi masih terlalu pagi bagi siswa pelajar yang suka berangkat mendekati jam masuk.

Tiba-tiba suara klakson motor terdengar beberapa kali bunyi dari belakang. Raxel sedikit menyingkir guna memberi jalan pengendara di belakangnya. Namun, bukannya berhenti suara klakson malah semakin keras. Raxel melihat pengendara itu lewat kaca spion. Terlihat ekspresi terkejutnya ketika mengetahui itu adalah Redo.

MARGAREZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang