seven

75 51 7
                                    

Selamat membaca!!

••••

Setelah makan malam selesai beberapa menit yang lalu, Marga diseret langsung ke ruang tengah oleh ayahnya.

Kini gadis itu terhempas di sofa panjang ruangan. Tatapan tajam mengarah ke arahnya seolah ingin menguliti gadis itu hidup-hidup. Marga mengabaikan tatapan itu, dia merapikan kaosnya yang sedikit menyingkap karena ditarik paksa tadi.

"Lihat nilai ulanganmu!" bentak Rayyan berapi-api menatap gadis di hadapannya. Tangannya melempar lembaran kertas tepat mengenai wajah Marga.

Rayyan melangkah maju. Tangannya mencengkram dagu gadis itu kasar. "Mau jadi apa kamu, hah? Belajar aja tidak becus!"

Marga meringis merasakan kuku tajam ayahnya sedikit menancap pada kulit pipinya. Dia kembali memejamkan mata saat bentakan meluncur di depannya langsung.

"Kamu hanya perlu belajar dan belajar! Apa susahnya kamu belajar?! Dapat nilai tinggi dan masuk peringkat paralel pertama!" teriak Rayyan murka.

Tangannya menghempas dagu gadis itu hingga membuat punggung Marga menabrak sandaran sofa. Giginya bergemelutuk menahan ngilu.

Gadis itu membalas tatapan sang ayah tak kalah tajam. Dia berdiri mensejajarkan tubuhnya di hadapan Rayyan.

"Gak bisa, ayah Rayyan" kata Marga menambah situasi mencekam di ruangan itu. Kedua tangannya bersidekap di depan dada seolah menantang.

Plak.

Sebuah tamparan kembali mengenai pipi Marga. Hingga wajahnya tertoleh ke samping. Bibirnya berkedut menahan panas yang menjalar di wajahnya.

"Anak gak tau sopan santun! Berani kamu sama ayah?!"

"Emang anak gak boleh berani sama orang tua yang suka main tangan ke anaknya?" jawab Marga datar. Matanya menatap remeh ke arah Rayyan.

Pria paruh baya itu hanya diam. Hanya napasnya yang terdengar tak beraturan menahan amarah. Tak lama dia melangkah pergi tanpa sepatah kata pun.

Gadis berambut sebahu itu berdecih. Menatap heran ayahnya yang melenggang pergi. Tak biasanya Rayyan pergi sebelum memberi babak belur ke tubuhnya.

Marga mendudukkan diri di sofa. Tangannya terulur mengambil selembar kertas yang sudah kusut di lantai. Matanya menatap angka merah yang dilingkari pada pojok kanan atas di kertas. Kemudian meremas lembaran kertas itu menjadi bulatan tak beraturan.

Punggungnya menyandar ke sofa sembari memejamkan mata sejenak. Lagi-lagi dia harus menjadi sempurna. Menjadi peringkat paralel pertama tidaklah mudah. Apalagi dengan kapasitas otaknya yang minim. Helaan napas keluar dari mulut gadis itu.

Barusaja hendak membuka kedua matanya, Marga sudah ditarik paksa berdiri. Raut wajah gadis itu sempat terkejut. Kemudian memulihkan rautnya menjadi datar kembali.

Tubuhnya dihempas di lantai dengan posisi terduduk. Marga mendongak menatap sang ayah yang memegang sebuah ikat pinggang. Matanya menelisik pergerakan sang ayah yang sudah bersiap melayangkan benda itu.

Rayyan melayangkan benda panjang itu ke punggung seorang gadis yang terduduk di lantai. Tanpa belas kasih, benda itu mengenai punggung Marga berkali-kali. Hingga gadis yang menjadi sasaran hanya mendesis ngilu merasakan sakit.

Plash

"Ini hukuman buat kamu yang membantah ucapan saya!" bentak Rayyan kembali melayangkan lecutan ke punggung sang anak.

Plash

"Dasar anak tidak tau diuntung!"

Marga menahan sakit sembari menumpu badannya yang terasa lemas. Dia berusaha menghindar lecutan itu. Beringsut menjauh dari sasaran sang ayah.

"Cukup yah!" teriak Marga muak. Gadis itu memaksa tubuhnya agar dapat berdiri. Napasnya tak beraturan. Matanya menatap nyalang ke arah sang ayah yang masih menatapnya bengis.

"Ayah gak bisa mengatur kehidupanku. Apalagi memaksa Marga mendapatkan nilai seratus di semua mata pelajaran." kata Marga dingin. Wajahnya sudah memerah bekas tamparan. Bahkan sudut bibirnya mengeluarkan darah kental yang dibiarkan begitu saja.

"Saya berhak mengatur karena kamu anak saya!" balas Rayyan kembali melayangkan lecutan ke badan gadis itu.

Marga memejamkan mata menetralisir rasa sakit. Kini lecutan itu mengenai sisi badannya. Hingga lengan kirinya tergores panjang.

"Bahkan figur seorang ayah tidak ada pada diri ayah." ujar Marga kemudian melangkah pergi.

Rayyan terdiam merasa tertohok dengan kalimat gadis itu. Namun, tak lama dia menyeringai. Seolah tidak mempan untuk membuatnya menjadi merasa kasihan pada gadis yang menyandang sebagai anaknya itu.

Gadis berambut sebahu itu berjalan menaiki tangga menuju kamarnya di atas. Tubuhnya terasa panas dan ngilu untuk bergerak. Dia tetap nekat menggerakkan kakinya melangkah masuk ke dalam kamar.

Setelah menutup pintu dan mengunci dari dalam. Marga mengacak rambutnya kasar. Napasnya memburu menatap tumpukan buku di atas meja belajar yang berada di pojok kamar.

Tak lama dia melangkah menuju meja itu. Tangannya mengambil salah satu buku tebal yang berjudul sejarah. Tanpa diduga Marga melempar buku itu ke lantai. Berlanjut mengambil satu-persatu buku lalu membuang dan merobeknya.

Rasa emosi yang lebih menggerogoti dirinya. Membuat gadis itu melampiaskan pada benda di sekitarnya. Membanting beberapa barang yang ada di meja rias hingga berceceran di atas lantai yang dingin.

••••

Next -
tunggu part selanjutnya

MARGAREZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang