Selamat membaca!!
••••
Marga duduk di sebuah kursi yang berhadapan langsung dengan papan kanvas di depannya. Matanya menelisik ke arah sketsa yang baru dibuatnya beberapa menit yang lalu. Tangannya yang masih memegang pensil, bergerak membenahi garis yang kurang pas.
Gadis berkaos abu itu menghela napas berat. Menyandarkan punggung pada kursi. Kedua netranya mengedar melihat kondisi kamarnya yang sudah dirapikan oleh Dewi tadi pagi.
Beralih menatap lengan kirinya yang membekas goresan. Lalu sengaja menusuk goresan itu dengan pensil yang dia pegang.
Desisan ngilu keluar dari bibir ranumnya. Jelas terasa sakit. Dari kemarin belum dia obati sama sekali. Luka yang masih basah itu dibiarkan mengering dengan sendirinya. Gadis itu tak peduli jika terjadi infeksi pada lukanya.
Marga hanya merasa lelah dan muak dengan kondisi seperti ini. Sudah berkali-kali dia dibuat babak belur oleh ayahnya sendiri. Entah itu dengan kesalahan kecil atau fatal. Endingnya tetap sama.
Tak ada gunanya mengelak. Karena hanya dengan begini dia bisa kembali ke dalam rumah.
Gadis itu beranjak mengambil cat air dan juga kelengkapan lainnya untuk melukis. Berjalan ke arah meja belajar mengambil palet dan kuas. Kemudian melangkah ke kamar mandi untuk mengambil segelas air di gelas.
Setelah semua barang dia dapatkan, Marga kembali duduk seperti posisi semula. Dia mulai menuangkan cat yang akan dia gunakan lalu mencampurkan dengan sedikit air.
Dengan lihai tangannya mengoleskan kuas pada kanvas sesuai keinginan. Mencampur warna agar menyatu dengan gambar. Gradasi warna ungu-kemerahan yang di buat sangat cantik di matanya kali ini.
Di tengah kegiatannya yang berlangsung, suara dering telepon mengganggu konsentrasi. Ponselnya yang tergeletak di atas kasur bergetar menandakan ada panggilan masuk.
Marga berdecak lalu beranjak mengambil ponselnya. Dahinya mengernyit melihat nama yang tertera di layar ponsel. Kemudian jarinya menggeser tombol hijau untuk mengangkat panggilan.
"Halo"
"Ga?"
Marga hanya diam menunggu kelanjutan seseorang di seberang telepon.
"Buset dah, dikacangin mulu kalo gue yang ngomong"
"Apa?" tanya Marga datar.
"Lo gak mau kesini? Arena balap udah rame pada mau war nih."
"Gak, gue sibuk"
"Aelah, sibuk ngapain lo? Biasanya juga langsung gas kalo balapan." ucap seorang laki-laki sembari terkekeh.
Terdengar suara bising di panggilan yang terhubung. Marga menghela napas pendek, lalu berucap "gue tutup."
Tut.
Barusaja hendak menaruh ponselnya lagi di kasur, layarnya kembali menyala menampilkan sebuah panggilan yang sama dengan nama 'Daniel'.
Marga mengabaikan panggilan lalu melangkah mendekati kursi yang dia duduki tadi. Gadis itu kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda.
Tak lama pintu kamarnya terbuka. Masuklah seorang pria paruh baya yang masih mengenakan kemeja merah maroon melangkah mendekati gadis itu.
Jarum jam menunjuk ke angka sembilan malam. Berarti ayahnya barusaja pulang dari kantor. Lalu, kenapa tiba-tiba masuk ke kamarnya bahkan tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
Tak biasanya Rayyan memasuki kamar Marga seperti saat ini. Bahkan dapat dihitung oleh jari sang ayah mengunjunginya di kamar. Marga tak mengindahkan keberadaan Rayyan yang berdiri di belakangnya. Gadis itu malah sibuk mengoles kuasnya pada gambar.
"Bagus. Bukannya belajar malah ngelukis gak jelas kayak gini!" kata Rayyan bersidekap dada mengamati kegiatan gadis itu.
Marga berdecih, "lebih gak jelas ayah yang tiba-tiba masuk kamar Marga tanpa izin" balasnya terdengar sarkas.
Rayyan menggeram marah. Tangannya menarik rambut gadis itu hingga kepalanya terdongak. "Beraninya kamu menjawab perkataan ayah dengan sarkas!"
Marga terkejut sampai menjatuhkan kuas yang dia pegang hingga warna yang tercampur di atas palet tercecer di lantai. Wajahnya yang mendongak paksa menampilkan kekehan sinis. "Lebih sarkasan ayah daripada Marga."
"Tidak bisakah kamu mengganti kegiatan bodohmu ini dengan belajar?!" tanya Rayyan mendekatkan wajahnya ke telinga gadis itu.
Dengan berani Marga menepis tangan Rayyan hingga cengkeraman pada rambutnya terlepas. Kemudian gadis itu berdiri menghadap sang ayah yang sempat terkejut dengan perlawanannya.
"Sudah berapa kali Marga bilang gak bisa dan gak akan pernah bisa." ucap Marga menahan amarah yang memuncak.
Plak.
"Lihat! Sikapmu kurang normal seperti remaja umumnya yang menghormati orang tua!" bentak Rayyan semakin murka. Tanpa belas kasih, tangannya kembali melayang ke wajah gadis itu.
"Ayah gak pantas dihormati." sahut Marga terkekeh sembari mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan darah.
Rayyan menatap bengis sang anak. Lalu mengambil papan kanvas yang masih basah cat air itu. Membanting kasar di lantai hingga sobek dan patah. Bahkan kakinya tak segan menendang penyangga kayu papan kanvas itu.
Hancur lebur sudah usaha yang dibuat Marga dari sore tadi hingga malam tiba. Gadis itu diam menatap nyalang ke arah lukisan yang baru setengah jadi.
"Sialan." umpat Marga menahan diri untuk tidak menghajar sang ayah sekarang. Napasnya memburu tak beraturan.
"Pelajari buku yang sudah ayah beli tadi pagi." pesan Rayyan sebelum beranjak pergi seolah tidak terjadi apapun. Tak lupa menepuk pundak gadis itu beberapa kali untuk memperingati.
"Rayyan sialan!" teriak gadis itu setelah Rayyan benar-benar keluar dari kamar dan menutup pintu. Marga mengacak rambutnya frustasi.
••••
Next -
tunggu part selanjutnya

KAMU SEDANG MEMBACA
MARGAREZA
Novela JuvenilBukan hanya kisah seorang gadis romansa di SMA. Ini sebuah kisah remaja yang menyukai hal-hal diluar batas. Pelampiasan lukanya yang terpendam. Bad Girl menjadi julukan gadis itu. [Margareza Inara] CERITA INI ASLI DARI PEMIKIRAN SAYA SENDIRI!! • •...