63.PANTI ASUHAN SEMESTA JIWA DAN SURAKARTA

325 28 15
                                    

''Di panti asuhan semesta jiwa ini, di antara dinding-dinding sunyi, tangisan yang menyayat hati berpadu menjadi satu. Mereka yang dibuang, dipukul, dan tak dianggap, saling merangkul dalam luka yang tak terlihat. Di sini, air mata bukan lagi sekadar tanda kesedihan, tapi bahasa yang mengikat jiwa-jiwa yang tersisih dari dunia.''

''Dan di balik senyum-senyum lelah yang terpahat di wajah-wajah kecil, ada luka yang tak tersentuh. Panti asuhan ini, tempat mereka yang diabaikan berkumpul, adalah rumah bagi tangisan yang tertahan dan mimpi yang dipatahkan. Di sini, mereka belajar bahwa harapan tak selalu datang dari luar, tapi dari kebersamaan di antara mereka yang terluka, menemukan arti keluarga dalam kesunyian.''

—PANTI ASUHAN SEMESTA JIWA

Setelah empat puluh hari berlalu sejak kematian Mutia dan Gio, keduanya kini beristirahat dalam damai, terkubur bersama selamanya. Sebuah tidur panjang yang takkan terputus—begitu indah dalam kebersamaanya. Namun, keindahan ini tidak sama dirasakan oleh Ayah Surya. Dia hancur. Kota Bandung dan Jakarta, tempat kenangan manis dan pahit bersarang, telah merenggut nyawa orang-orang yang ia cintai.

Beberapa hari terakhir, hatinya berat. Pikirannya terus mengembara, berusaha mencari kedamaian di tengah duka yang menggulung. Dia memutuskan untuk meninggalkan semua itu, meninggalkan kota yang menyimpan begitu banyak luka. Surakarta tampak seperti pelarian yang tepat, jauh dari kenangan yang menyiksa. Tapi sebelum pergi, ada satu hal yang harus ia lakukan. Rumah besar milik Gio  dan Mutia tidak boleh kosong, terbengkalai, menjadi saksi bisu kepergian mereka.

Dengan hati yang berat namun niat yang kuat, Ayah Surya mendatangi yayasan panti jompo tempat ia pernah bekerja. Di sana, dia berniat mewakafkan tanah dan rumah itu. Sebuah tempat yang kelak akan menjadi panti asuhan, agar anak-anak yang kurang beruntung, yang terbuang dari jalanan seperti Gio pernah alami, tidak mengalami nasib yang sama. Rumah itu, ia harap, bisa menjadi pelindung bagi mereka, menjadi tempat di mana mereka menemukan harapan dan keluarga baru, sesuatu yang mungkin tak pernah Gio rasakan sepenuhnya.

Itulah caranya menembus luka yang tak pernah terhapuskan, dengan menciptakan harapan bagi mereka yang masih memiliki masa depan.  

''Saya ingin mewakafkan rumah anak saya untuk dijadikan panti asuhan,'' ujar Ayah Surya dengan mata penuh harapan kepada bapak kepala yayasan panti jompo tempatnya dulu bekerja. ''Agar tidak ada anak yang kehilangan rumah, kasih sayang, atau keluarga. Saya ingin mereka bisa merasakan kenyamanan sebuah rumah, hangatnya pelukan, dan bahwa di dunia ini masih banyak orang baik yang peduli pada mereka.'' Suaranya bergetar, mencerminkan besarnya keinginan untuk memberikan arti baru pada rumah itu, sebuah harapan baru bagi anak-anak yang membutuhkan cinta dan perhatian.

''Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada melihat seorang anak kehilangan tempat yang seharusnya menjadi pelindung dan sumber kasih sayang mereka. Saya tidak ingin ada lagi yang mengalami hal itu,'' Ia menatap dalam-dalam ke arah kepala yayasan panti jompo, berharap mengerti betapa pentingnya keputusannya. ''Saya ingin mewakafkan rumah anak saya untuk dijadikan panti asuhan, agar setiap anak yang terlantar dapat menemukan tempat yang aman, tempat di mana mereka merasa dicintai dan diperhatikan.''

Rumah itu, rumah yang dibangun dengan penuh cinta dan harapan dari Gio untuk Mutia dan anak mereka, kini hanya seberkas kisah singkat dalam perjalanan hidup yang penuh liku. Dinding-dinding yang dulunya dipenuhi oleh bingkai-bingkai foto pernikahan—kini kosong, seolah tak bernyawa. Empat puluh hari sejak kepergian Gio dan Mutia, rumah itu semakin terasa kehilangan—terasa hening—sepi. Setiap sudut ruangan seolah mengingatkan pada impian yang tak pernah benar-benar terwujud, impian untuk hidup bahagia bersama sebagai keluarga, jauh dari dunia yang kejam.

Berharap kelak akan menjadi tempat di mana mereka bertiga—Gio, Mutia, dan anaknya—bisa menghabiskan waktu bersama. Namun, takdir punya jalan lain, dan rumah yang seharusnya menjadi tempat berteduh—kini hanya menyisakan jejak kenangan yang samar.

SEMESTA TAK AKAN MEMBENCI KITA YANG PERGITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang