NARES SEMPAT KETIDURAN ketika sedang menonton film bersama Wilona di ruang tengah. Kegiatannya hari itu sudah cukup menguras tenaga. Gejala kecanduan yang sempat kembali juga membuatnya makin lelah.
Hal terakhir yang dia ingat hanyalah beberapa komentar Wilona mengenai adegan film yang mereka lihat. Selain itu, dia tak lagi ingat. Dia baru terbangun ketika jam dinding menunjukkan pukul empat. Sofa yang dia tempati sudah kosong. Televisi yang menyala sudah kembali dimatikan. Pagi itu, dia tidak melihat keberadaan Wilona. Namun, dia merasakan hangat di tubuhnya. Ada sebuah selimut yang telah menaungi sebagian tubuh, padahal dia sama sekali tak membawanya ketika bergabung ke ruangan ini.
Tanpa melihat secara langsung, Nares bisa menebak kalau wanita itulah yang memberikan selimut itu.
Nares mengerutkan kening samar ketika memikirkannya. Dia mengembuskan napas pelan dan mengusap kasar wajahnya.
Peristiwa yang terjadi dalam kurun waktu dua puluh empat jam ini hampir membuat kepalanya meledak. Dimulai dari perdebatannya dengan sang atasan, konfrontasi dengan Dewan beserta anak-anak kelab, kemudian kehadiran Wilona ketika dia sedang runtuh menghadapi semua masalah dan masa lalunya.
Nares tidak senang dan tidak ingin orang lain melihatnya yang sedang berjuang melawan monster dalam dirinya sendiri. Dia tidak ingin orang lain melihat sisi rentannya, situasi ketika dia sedang tidak stabil dan hampir kehilangan kontrol diri.
Sialnya, dalam kurun waktu tiga bulan ini, Wilona sudah menyaksikan itu semua. Bukan hanya sekali, tetapi mungkin hampir empat kali. Entah itu kejadian di hotel, momen menyesakkan di detik-detik menuju pernikahan, konfrontasi Ayesha, hingga ... ini. Waktu tiga bulan sangatlah singkat. Namun, perempuan itu sudah hampir mengulitinya. Padahal, selama ini dia belum pernah membiarkan orang lain melihatnya yang begini, kecuali terapisnya sendiri.
Sunyi di pagi itu terasa cukup menenangkan. Untuk suatu alasan, segala kecemasan dan gangguan memuakkan yang sempat meneror kepalanya kini mulai sirna. Nares tak lagi mendengar tuduhan, sumpah serapah, dan suara yang menyuruhnya untuk mati. Dia tak lagi merasa seperti tercekik dan ingin menyayat denyut nadinya sendiri.
Kepalanya mulai terasa ringan.
Dan sialnya, yang dia ingat adalah kata-kata Wilona yang berujar bahwa di sini adalah tempat yang aman, tidak ada orang atau sesuatu yang akan menyakitinya.
Tatapan teduh dan suara lembutnya masih terbayang jelas di kepala Nares.
Kenyataan itu sangat mengesalkan. Nares kembali mengembuskan napas panjang.
Mengapa dia membiarkan perempuan itu untuk membantunya?
Menatap langit-langit ruangan dengan sorot kosong, Nares baru memutuskan bangkit ketika memikirkan tempat tidur yang lebih nyaman. Kamar yang amat berantakan langsung menyapanya begitu dia kembali. Nares hanya melihatnya sekilas, kemudian dia membereskannya dengan spontan.
Ada sedikit rasa bangga ketika dia ingat bahwa tadi malam dia bisa menahan diri untuk tidak memecahkan barang-barang kaca. Akan lebih merepotkan kalau dia harus membereskan pecahan lampu, jendela, ataupun cermin yang ada di ruangan ini.
Nares kembali memejamkan mata untuk mengobati rasa kantuknya. Pagi itu, dia bisa terlelap dengan lebih cepat dibanding hari-hari biasa. Gelap yang dia lihat tak lagi memperlihatkan bayang kemarahan orang-orang padanya. Mimpi buruk yang selalu hadir juga memutuskan untuk berhenti sementara.
Uluran tangan Wilona ternyata memang cukup membantunya. Meskipun untuk sekarang Nares belum akan mengakui.
Dia belum akan mengakui bahwa mungkin Wilonalah yang akan menjadi dorongan terakhir baginya untuk mengevaluasi diri, mencoba berkaca pada seluruh kegagalan di hidupnya, dan mulai benar-benar merenungi serta meresapi segala ucapan yang sempat diutarakan sang terapis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Glasses
RomanceLuka dan sakit di masa lalu membuat Wilona pesimis dengan sebuah pernikahan. Baginya yang sempat gagal dan sedang dalam masa pemulihan, pernikahan tidak lagi sakral. Pernikahan bukan lagi benang yang akan mempersatukan dua insan yang saling mencinta...