6 ; Penawaran

2.7K 445 67
                                    

WILONA TIDAK BEGITU mengenal Nareswara. Akan tetapi, dia bisa melihat perubahan drastis dalam dirinya.

Perubahan yang dimaksud tidak serta merta merujuk pada sesuatu yang baik.

Melihat sosok itu secara langsung, Wilona hanya dapat menyimpulkan bahwa ... lelaki ini terlihat sangat kacau, secara nyata maupun simbolis. Jika Wilona tidak pernah mendengar desas-desus buruk tentangnya, dia akan merasa iba dengan kondisi Nares yang sekarang. Pengetahuan mengenai siapa dan bagaimana Nares bersikap mencegah Wilona untuk berempati.

Dia tidak bisa mengasihani seseorang yang pantas mendapatkan karma atas kekacauan yang dibuatnya sendiri, meski kekacauan sang lelaki membuatnya terlihat sedikit lebih manusiawi.

Nareswara terlihat menderita setelah terisolasi selama berbulan-bulan di panti rehab.

Tubuhnya tampak ringkih, dengan jejak insomnia yang nyata di bawah matanya. Dia terlihat pucat dan mati. Binar kehidupan seolah menghilang dari pandangan.

Gertak yang terucap dari mulutnya juga terdengar kosong. Wilona bahkan tidak yakin jika Nares bisa benar-benar menyakitinya dengan keadaan yang seperti ini.

Sosok yang kini berdiri di hadapannya tampak amat berbeda dengan seseorang yang dia lihat melalui layar.

Untuk suatu alasan, dia terlihat lebih normal dibandingkan seseorang yang dulu mengacaukan hidupnya.

Keadaan Nares yang sekarang tidak membuatnya terlihat seperti ancaman. Alih-alih ancaman, kini dia lebih menyerupai kegagalan, seorang pecundang yang hidupnya dipenuhi oleh banyak kerusakan.

Belum ada alasan yang cukup untuk membuat Wilona merasa takut menghadapinya.

Nares bukanlah orang yang cukup kuat untuk menggoyahkan keberaniannya.

"Apa pun penawaran yang lo kasih, sebenarnya gue sama sekali nggak peduli," ungkap Nares ketika mereka berjalan menghampiri ruang tamu.

Wilona memindai keadaan tempat itu begitu dia masuk. Penilaiannya mengenai Nares seolah langsung terkonfirmasi setelah dia melihat keadaan apartemen yang terlihat sama kacaunya seperti si empunya.

Keadaan semacam ini tidak terlihat seperti hasil dari kemalasan belaka. Orang sekelas Nares sudah jelas dapat membayar orang lain untuk merapikan tempat tinggal.

Walaupun begitu, lelaki ini memilih untuk membiarkan tempat tinggalnya terbengkalai. Dia terlihat tidak peduli dengan lingkungan yang kini ditempati.

Wilona memegang erat tali tas yang tersampir di sebelah bahu. Sesuatu mengenai keadaan Nares membuatnya terganggu.

Dia menarik napas pelan dan ikut duduk di seberang sofa setelah mereka sampai di ruang tamu.

"Bagus kalau gitu," balas Wilona selagi duduk menghadap sang pria. "Kalau kamu nggak peduli, artinya kamu siap menerima semua penawaran yang aku ajukan."

Nares menaikkan alis. Dia lalu mendengkus dengan penuh cemoohan.

"Atas dasar apa lo bisa se-pede ini?" komentarnya sinis. "Gue nggak peduli karena gue juga nggak mau nikah sama lu. Deal antara bokap lo sama bokap gue bukan sama-sama menguntungkan. Di situasi ini, cuma kalian yang untung karena dapat investor gede kayak bokap. Sedangkan gue?" Nares berdecak muak. "Gue cuma bakal jadi anjing peliharaan kalian."

Wilona menatapnya pasif. Dia tidak terlihat terkejut ataupun tersentak atas tuduhan dan antipati yang tersurat dalam ucapan Nares. Sorot matanya pun masih terpatri di mata pria itu. Dia memandangnya lurus.

"What's so bad to be someone else's dog?" Wilona duduk dengan tegak. Sebelah tangan terpangku di atas paha. "All you need to do is live. Orang lain akan kasih kamu makan dan tempat tinggal secara gratis. Kamu dapat pekerjaan lagi. Nama kamu lambat laun bakal ikut bersih, selagi kamu nggak berulah. Semua yang kulihat di sini justru keuntungan di sisi kamu, kecuali kamu terlalu buta buat melihat semua keuntungan itu."

Broken GlassesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang