LOKAWISATA YANG MEREKA datangi sedang sangat ramai. Prediksi Nares terbukti benar. Jumlah orang di tempat ini kelewat banyak. Antrean dari tiap wahana dan stand makanan tampak tidak ada habisnya. Nares bisa melihat banyaknya anak kecil yang berlarian, juga lalu-lalang orang yang datang bergerombol bersama teman ataupun keluarga.
Padahal, sekarang hanyalah akhir pekan, bukan liburan.
Nares sudah mengembuskan napas panjang begitu menginjakkan kaki di sana. Kalau saja Wilona tak pintar memelintir perkataannya, dia takkan rela ikut menjadi pengasuh dadakan dari dua anak kecil ini. Sayangnya, Wilona memintanya untuk bergabung dengan mereka, bukan sekadar sebagai pengantar saja.
"Kamu sendiri yang nggak mau dianggap sebagai sopir. Jadi, udah sepantasnya kamu ikut masuk sama kami, kan?" tutur Wilona ketika Nares berucap dia yang akan pergi ke tempat lain. "Dan tujuanku mengajak kamu itu biar aku dan anak-anak nggak perlu khawatir bakal diganggu Jonathan lagi. Kalau kamu nggak ikut masuk, apa bedanya? Aku bisa pakai taksi kalau cuma mau diantar jemput."
Ucapan wanita itu sangat sulit untuk didebat. Dia pandai beralasan, sekesal apa pun Nares ingin menyangkalnya.
Alhasil, di sinilah dia sekarang. Terik matahari benar-benar terasa menyengat kulit. Nares mengerutkan dahi dengan jengkel saat Rafa mulai menyebutkan salah satu wahana yang ingin dinaikinya selagi ikut mengajak Tabita.
"Karavel, namanya Karavel," ucap sang anak pada Tabita dan juga Wilona. "Aku mau coba Ontang-Anting, Tante, tapi kata Bunda wahana yang itu belum boleh dinaikin sama anak kecil. Aku udah boleh, tapi Tabita belum. Jadi, kita naik Karavel aja biar aku sama Bita bisa sama-sama naik. Wahananya itu, yang bentuknya kayak perahu kecil terus diputar-putar!"
"Kamu memangnya nggak pusing kalau naik itu?" balas Wilona, kembali memastikan keinginan Rafa.
"Enggak. Naik itu seru!"
Wilona mengangguk. Dia lalu menoleh pada putrinya.
"Tabita mau coba juga?"
Yang ditanya mengerjap pelan. Dia melihat wahana yang sempat ditunjuk Rafa. Ekspresinya tak memperlihatkan antusiasme yang sama.
Tabita mengeratkan genggaman di tangan ibunya. Dia tidak menjawab. Namun, keengganannya cukup terlihat.
Rafa bahkan memahaminya.
Anak lelaki itu langsung mengerjap. Dia melangkah mendekat.
"Kamu takut?" tanyanya langsung.
Anak perempuan Wilona seketika mendongak. Matanya sedikit melebar.
"E-Enggak! Siapa juga yang takut?!" balasnya spontan, terdengar defensif.
Wilona sedikit terpaku. Dia ingin dua anak ini akur. Tidak baik kalau mereka mulai bertengkar.
Hanya saja, sebelum dia berusaha untuk menengahi, Rafa sudah kembali berbicara.
"Oh, bagus kalau gitu. Tapi, kalau takut juga nggak apa-apa. Apalagi kamu baru pertama kali nyoba," terang Rafa, terdengar kelewat dewasa untuk anak seumurannya. "Dulu aku juga takut. Tapi, aku penasaran, jadinya nyoba. Dan ternyata seru! Kamu kalau takut nanti tutup mata aja. 'Kan naiknya berdua. Aku ikut nemenin. Kamu nggak akan sendirian!"
Ekspresi terancam di wajah Tabita kini memudar. Dia menatap Rafa dengan penuh keraguan.
Reaksi yang demikian membuat anak lelaki itu kembali bersuara.
"Kamu suka main yang mana kalau gitu?" Rafa bertanya, seolah menunjukkan kalau dia takkan memaksa Tabita untuk naik wahana yang tadi sempat disebutkan.
![](https://img.wattpad.com/cover/361048098-288-k868825.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Glasses
RomanceLuka dan sakit di masa lalu membuat Wilona pesimis dengan sebuah pernikahan. Baginya yang sempat gagal dan sedang dalam masa pemulihan, pernikahan tidak lagi sakral. Pernikahan bukan lagi benang yang akan mempersatukan dua insan yang saling mencinta...