18 ; Dilema

2.3K 333 30
                                    

HELA NAPASNYA SEOLAH dirampas paksa setelah dia meninggalkan kamar Nares. Masing-masing pundak meluruh. Wajah tak berekspresi kini memperlihatkan raut lelah.

Wilona berpegangan pada kosen pintu. Tenaga yang berhasil menopangnya sirna dengan tiba-tiba. Wilona merasakan lemah di kedua kaki, juga sakit dan nyeri di sekujur tubuh, terutama di bagian yang sempat dicekik dan dipukul oleh mantan suaminya.

Bayang musibah malam ini kembali terngiang.

Wilona meraba bekas luka di pelipisnya. Luka itu tak lagi mengeluarkan darah. Namun, rasa perihnya masih menetap.

Dia mengeratkan pegangan pada kosen pintu. Bibirnya merapat. Dadanya terasa sesak—oleh kekhawatiran dan ketakutan, tentang Jonathan yang telah kembali, Jonathan yang akan meneror kehidupannya dan sang putri untuk kedua kali.

Ancaman pria itu masih terekam jelas di kepalanya, tentang dia yang akan merenggut sesuatu yang berharga dari Wilona, sesuatu yang bahkan lebih bernilai dari diri Wilona sendiri.

Tanpa perlu disebutkan, Wilona sudah tahu pada maksud ancaman mantan suaminya.

Sesuatu yang dimaksud Jonathan adalah putri mereka. Jonathan berniat untuk mengambil Tabita dari Wilona. Setelah berhasil melakukan itu, entah hal buruk apa yang akan dilakukan pria itu pada putrinya.

Bagaimana jika Jonathan berhasil mewujudkan ancaman itu?

Bagaimana jika dia ikut menyakiti Tabita hingga sosok tersebut merasakan luka yang sama seperti yang dirasakan Wilona?

Bagaimana jika dia menghancurkan masa depan sang putri?

Suara-suara negatif itu membanjiri kepala Wilona dengan segera. Sebelum dia dapat mengontrolnya, kecemasan dan ketakutan itu telah datang menyergap. Hela napasnya direnggut dengan paksa. Wilona tersekat. Untuk sesaat, dia lupa caranya bernapas.

Dadanya teramat sesak. Wilona menyeret kedua kakinya untuk berjalan. Saat sudah berada cukup jauh dari pintu kamar Nares, dia menepuk-nepuk dadanya, dengan sebelah tangan yang masih berpegangan pada dinding.

Serangan panik itu amat mencekik. Rasanya sama seperti saat Jonathan mencengkeram keras lehernya, menyumbat aliran pernapasannya.

Kedua mata melebar oleh kepanikan. Di saat yang sama, Wilona merasa seperti berada di ujung kematian.

Keadaan di sekitarnya memburam. Wilona tiba-tiba tidak mengenali suasana rumahnya sendiri. Kepalanya keruh oleh kabut.

Detik-detik mencengkam itu belum juga sirna hingga beberapa menit, hingga dia mendapatkan sebuah botol kecil dari saku pakaiannya.

Dengan serampangan, Wilona mencoba membuka tutup botol kaca itu. Usaha yang bisa dilakukan dengan mudah menjadi sangat sulit dengan keadaannya yang sekarang. Dia hampir menjatuhkan botol kaca sebelum benar-benar membukanya. Refleks yang masih mendukung berhasil membantunya menghadapi kendala kecil ini. Begitu botol berhasil dibuka, Wilona segera mengoleskan isi botol ke pergelangan tangannya.

Telapak tangan itu didekatkan ke wajah. Wilona bersandar pada dinding saat menghirup dalam-dalam harum aromaterapi dari pergelangan tangannya. Dia melakukannya beberapa kali hingga harum familier ini mengingatkannya pada suasana nyaman nan menenangkan.

Seketika, Wilona mulai sadar bahwa dia tidak sedang berada di tengah bahaya. Jonathan mungkin masih akan terus menerornya. Namun, saat ini dia sudah aman. Dia sudah berada di rumahnya sendiri dan dia masih bisa mengontrol serta mencegah kejadian-kejadian buruk di masa mendatang.

Realisasi mengenai berbagai hal buruk yang dapat dicegah berhasil menetralkan ketakutan yang menjerat. Wilona merasakan lemas di sekujur tubuh begitu kepanikannya terangkat. Dia masih bersandar pada dinding. Pergelangan tangan masih dihirup dalam-dalam.

Broken GlassesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang