22 ; Pion

1.8K 221 11
                                    

BAU ANTISEPTIK YANG bercampur dengan aroma tinta yang khas langsung tercium begitu Nares melangkah memasuki sebuah ruangan.

Bising yang memenuhi telinga kini menghilang sepenuhnya. Dibandingkan dengan suasana di lantai bawah gedung ini, ruangan di lantai dua terasa sangat sepi. Nares tak melihat keberadaan siapa pun di sana. Dia hanya mendapati sebuah meja yang dipenuhi jarum, botol tinta dengan berbagai warna, dan juga bermacam-macam kertas sketsa.

Lampu ruangan terlihat lebih redup dari biasa. Gantungan informasi bertulisan kata 'BUKA' kini telah berganti menjadi 'TUTUP'. Saat itu, dia tetap melangkah masuk karena tujuannya memang bukan untuk menggunakan jasa studio tato ini, tetapi untuk mendinginkan kepala dari keramaian di sebuah bar yang ada di lantai pertama.

"Kalah main biliar lagi dari Nanda?"

Suara seseorang terdengar dari balik pintu yang terbuka.

Nares menoleh. Dia melangkah mendekati sebuah sofa saat tahu masih ada seseorang yang tinggal.

"Mereka kebanyakan bacot. Gue capek dengernya," ucap Nares, tidak secara langsung menjawab pertanyaan yang terlontar.

Seorang pria berperawakan tinggi besar muncul dari balik pintu. Dia membereskan sekumpulan jarum, botol tinta, dan kertas sketsa yang masih berserakan di atas meja kerja. Kehadiran Nares di sini tak lagi mengejutkannya.

Bagaimanapun juga sekarang sudah hampir setahun sejak lelaki itu bergabung—secara tidak langsung—dengan mereka.

"Gue udah tau tentang Kiran Gasendra," ujar Nares mengawali. Dia tengah bersandar di sofa. Kedua matanya menatap langit-langit ruangan, memperhatikan cahaya lampu yang sedikit remang. "Dia cucu dari Keluarga Rajendra, salah satu pemilik besar perusahaan properti. Setelah pertandingan di Bali tahun kemarin, dia lulus kuliah dari kampus negeri dan langsung cabut ke Perancis."

Dewan menoleh. Dia melihat Nares melalui pundaknya.

"Lo masih dendam sama dia?"

Nares menarik napas panjang. Dia mengembuskannya dengan kasar.

"Gue enek, dia masih bisa idup normal." Nares menandaskan. "Kenapa dia bisa bertingkah biasa aja meskipun sempet ikut balap liar?"

"Karena mungkin itu cuma hobi sampingan," balas Dewan dengan enteng. Dia berjalan menghampiri Nares setelah selesai membereskan peralatan kerjanya. "Harusnya lo denger nasihat gue. Lo coba nurut sama bokap dan nyokap lo buat kerja di perusahaan keluarga kalian. Orang elite kayak lo harusnya emang ada di posisi tinggi, bukan tinggal di got kayak tikus kota macam kami ini."

Nares hanya melirik Dewan tanpa minat. Dia merogoh saku untuk mengambil kotak rokok.

"Tristan juga sekarang udah nggak main-main sama balap lagi," tambah Dewan. Dia duduk di sofa yang ada di seberang Nares. "Bentar lagi kalian lulus kuliah. Gue denger bokap dia tahun ini menang pemilu dan udah dapat kursi di DPR. Pemilu periode depan, pasti giliran dia yang maju. Orang kayak dia nggak mungkin menyia-nyiakan kesempatan buat dapat kuasa."

"Dia tetap takut sama lo," balas Nares datar. "Setelah tau lo ada di belakang gue, dia udah nggak berani lagi ikut campur. Padahal gue sama dia sekampus."

Dewan menyeringai saat mendengarnya.

"Lo tau kenapa?" tanyanya retoris. Dia menjentikkan jari ketika Nares hanya menatapnya dengan alis mengerut. "Karena gue punya kartu as dia."

"Lo pemasok obat yang dia edarin?"

"Kurang lebih," balas Dewan sambil lalu.

Nares hanya memandang kosong pria itu. Dia lalu memantik api untuk menyalakan batang nikotin di sela bibirnya.

Broken GlassesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang