15 ; Belenggu

2.4K 404 31
                                    

NARES TIDAK MEMILIKI orang kepercayaan, terkecuali satu orang.

Sosok itu bukanlah ayah ataupun ibunya. Bukan pula sang kakak. Namun, dia adalah orang asing yang memaksa masuk ke dalam hidupnya dengan tiba-tiba—seorang pria seusia Gala dengan segala sikap yang berkebalikan dengan kakak tirinya.

Jika Gala amat menghakimi Nares. Sosok ini menerimanya dengan tangan terbuka.

Dia banyak membantunya ketika dirinya terpojok sendirian. Dia yang membereskan si bajingan Tristan, kawan masa SMA yang terbukti hanya menjadikannya permainan.

Dia tak pernah melihatnya dengan sebelah mata. Tidak pula menghindarinya karena merasa bahwa keberadaan Nares sangatlah mengganggu. Dia bukan saudara yang menjauh dan terasa bagaikan lawan.

Nares mempercayainya, sangat mempercayainya.

Paling tidak, sampai musibah itu datang dan dia tak lagi mendapatkan uluran tangan dari sosok yang amat dia percaya.

Detik ketika momen itu tiba, dia langsung sadar bahwa semua orang di sekitarnya memang sama saja. Mereka hanya menginginkan sesuatu darinya. Dan kini, dia merasakan rasa muak yang tak terkira.

Jadi, mengapa bedebah itu dan kawan-kawannya masih saja berusaha menghubunginya?

Genggaman tangan pada ponsel tampak erat. Nares mengatupkan mulut ketika mendengar suara yang makin mengganggu dari waktu ke waktu. Sebelumnya, dia sudah jengkel jika orang ini berbicara. Sekarang, kejengkelan itu makin memburuk, apalagi setelah segala hal yang mereka lakukan padanya.

"Nggak akan gue ulangi," tandas Nares saat itu. Dia berbicara melalui sambungan telepon. "Apa pun kata kalian, gue nggak akan dateng. Harusnya kalian langsung paham setelah minggu kemarin nomor itu gue blokir."

"Siapa tau cuma kepencet!" balas seseorang di seberang telepon. Nada suaranya cukup tinggi untuk ukuran laki-laki. Dari caranya berbicara seolah menandakan bahwa dia sedang meledeknya.

Nares berdecak keras. Dia menahan keinginan untuk membanting ponselnya sendiri.

"Stop nge-bullshit. Gue udah nggak ada urusan sama kalian."

Dia menarik ponsel dari dekat telinga, hendak mematikan panggilan.

"Tunggu, Res! Lo harusnya denger kita dulu! Masalah yang tahun kemarin—"

"Sepuluh detik."

"Anjing," umpat sosok yang meneleponnya. "Gue cuma mau bilang kalau masalah lo yang itu, lo udah sekakmat! Nggak ada yang bisa bantu! Kecuali lo mau jadi buron!"

"Berengsek, menurut lo gue percaya?" Nares bersungut marah. "Cari dan jual narkoba aja kalian bisa. Ngapus kasus dan batalin rehab gue kalian nggak bisa?!"

"Gue juga nggak tau! Dewan yang nyuruh!" timpalnya, terdengar terburu-buru. "Maksudnya, nih, gue sih bisa aja bawa lo lari. Tapi, lo nggak akan mau jadi gelandangan kayak kita-kita yang bisa ditangkap polisi kapan aja, kan? Nah, Dewan juga mikir gitu, Anjing. Dia bilang, posisi kita udah jelek. Gue sama anak-anak bisa ikut keseret kalau macam-macam. Dari awal, harusnya lo nggak ganggu Kiran Gasen—"

"Gue udah clean," potong Nares dengan segera. Dia sangat enggan dan muak untuk mendengar penjelasan sosok yang sedang berbicara dengannya. "Kalau lo butuh duit dari jual obat-obat itu, silakan lo cari pecundang yang lain. Dari tahun-tahun lalu juga gue udah nggak beli dari kalian. Gue udah nggak butuh."

"Oh, jadi akhirnya lo mau tobat?" ungkap si lawan bicara. Dia kembali meledeknya. "Mau jadi anak baik mami lagi?" tambahnya.

Nares langsung menggertakkan rahang. Tanpa membalas ucapan itu, dia telah mematikan panggilan.

Broken GlassesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang