KETENANGAN DI WAJAHNYA mungkin memang hanya topeng belaka. Wilona mungkin sempat memberi sedikit nasihat pada Nares supaya sosok itu tak lagi gusar. Dia meminta Nares untuk tenang dan tidak takut dengan pernikahan. Kenyataannya, Wilona sendiri berjuang untuk menghadapi acara yang berpotensi memantik trauma di hidupnya.
Memori tentang pernikahan kembali membuka luka yang sudah mulai tertutup. Perayaan acara ini mengingatkannya pada kegagalan rumah tangga. Kegagalan rumah tangga berkaitan erat dengan sang mantan suami yang selama ini telah menyakitinya, secara mental dan fisik.
Wilona belum bisa menghilangkan stigma buruk pernikahan dari benak. Orang-orang mungkin tidak sadar bahwa wajahnya teramat pucat. Bagaimanapun juga, polesan kosmetik membantunya untuk menyamarkan raut pucat ini. Dia selamat dan bisa berpura-pura sehat dengan bantuan make up. Tidak ada yang tahu dengan tangannya yang gemetar, napas yang tersendat, ataupun jantung yang berdegup terlalu kencang dari biasa.
Wilona mencoba mengelola rasa paniknya dengan mengatur hela napas. Sang terapis berkali-kali melatih metode ini padanya. Selama setahun terakhir, dia juga sudah semakin mahir melakukannya tiap kali serangan panik itu datang. Sekarang pun, dia cukup bisa mengatasi, meski semua gejala-gejala itu hanya dapat diminimalisasi—bukan sepenuhnya hilang.
Hela napasnya masih berat walau tak sepenuhnya tercekik. Upacara pernikahan dan kehadiran banyak tamu berhasil mengundang bayangan tentang pernikahannya yang dulu. Keberadaan pria di sampingnya terasa seperti sosok-nya. Ikrar pernikahan yang diucapkan sang calon suami terdengar seperti penjara yang akan kembali mengurungnya.
Alih-alih Nares, suara Jonathan terngiang jelas di telinga.
Ketika saat itu tiba, Wilona merasakan puncak kekhawatiran yang mencengkeram dada. Telinganya berdenging. Tepuk tangan para tamu bagaikan suara berisik yang akan menulikan indra pendengarnya.
Selama proses seremoni itu, dia hanya menunduk dan berbicara seperlunya, suaranya bahkan terdengar sedikit bergetar.
Ketika memasuki bagian penyematan cincin, Wilona terkesiap. Dia hampir menangkis telapak tangan Nares yang hendak menyentuh telapak tangannya.
Tepuk tangan orang-orang masih berdengung di telinga.
Sesaat, dia merasa hilang, terputus dari realita, jauh dari tanah yang dijejakinya.
Kedua matanya membeliak. Siapa pun yang melihat wajahnya akan tahu bahwa dia terlihat panik, takut akan sesuatu, seolah ada malapetaka yang hendak mencengkeramnya.
Wilona tak memperhatikan Nares yang menyipitkan mata. Dia juga tak menyadari sosok itu yang telah menunduk dan meremas kuat telapak tangannya.
"Get your shit together," bisik pria itu tepat di dekat telinga Wilona. "Bukannya tadi lo yang bilang biar gue nggak mengacau? Kalau iya, lo juga punya tanggung jawab yang sama. Don't freak out. It just a damn ring."
Wilona mengerjap beberapa kali. Mulutnya mengatup rapat. Telapak tangannya mengepal. Dia menarik napas panjang selagi memejamkan mata.
Kenyataan yang sebenarnya mulai terlihat jelas di kepala. Nares, pria yang ada di hadapannya adalah Nareswara, bukan lagi sang mantan suami yang telah berkali-kali menyakitinya.
Pria ini adalah orang baru, sosok yang belum dan—semoga saja—tidak akan menorehkan luka di hidupnya. Dia bukan Jonathan yang telah melakukan berbagai tindakan buruk yang menghancurkannya.
Nares tidak memiliki riwayat semacam itu di hidup Wilona.
Kepalan tangannya perlahan mengendur. Dengung di telinganya memudar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Glasses
RomanceLuka dan sakit di masa lalu membuat Wilona pesimis dengan sebuah pernikahan. Baginya yang sempat gagal dan sedang dalam masa pemulihan, pernikahan tidak lagi sakral. Pernikahan bukan lagi benang yang akan mempersatukan dua insan yang saling mencinta...