12 ; Riak Ombak

3.3K 440 22
                                    

DI PAGI HARI pernikahan, Tabita akhirnya sadar bahwa acara besar yang disiapkan ibunya bukanlah acara pertemuan keluarga biasa, tetapi acara pernikahan yang akan langsung melibatkan sang bunda.

Membicarakan topik pernikahan kedua dengan anak enam tahun bukanlah hal yang mudah. Selama ini, Wilona hanya menandaskan Nares yang akan ikut tinggal di rumah mereka. Dia belum pernah secara gamblang memberi tahu bahwa dirinya akan menikah lagi.

Tabita yang masih belia tentunya sulit untuk menyimpulkan petunjuk kecil yang diutarakan Wilona. Dia baru benar-benar memahami maksud sang ibu setelah melihat penampilan sosok itu di hari pernikahan. Gaun putih menawan yang digunakan ibunya jelas-jelas bukan gaun biasa. Anak enam tahun sepertinya pun tahu bahwa gaun itu adalah gaun cantik nan istimewa yang dikenakan calon pengantin.

Tabita sudah pernah melihatnya di beberapa tontonan televisi. Kata Mbak Tina, si pekerja rumah tangga, ayah dan ibunya dulu pernah berfoto dengan setelan pernikahan semacam ini. Namun, foto itu tak lagi dipajang di rumah mereka setelah ayahnya pergi.

Tabita masih terlalu kecil untuk memahami konsep perceraian. Dia hanya tahu bahwa ayahnya tak lagi tinggal bersama mereka karena suatu kesalahan besar. Walaupun begitu, bukan berarti dia senang jika ibunya menikah untuk kedua kali.

Lagi pula, apakah hal semacam itu dibolehkan? Bukannya pernikahan hanya dilakukan sekali saja dengan orang yang kita cintai?

Tabita tidak mengerti.

Dan pagi itu, Wilona kembali merasakan pilu karena harus melihat Tabita yang berkaca-kaca selagi menuturkan rasa kecewa kepadanya. Reaksi semacam itu sudah diprediksi, sama seperti dulu ketika dia menolak kepergian ayah kandungnya. Tidaklah mengejutkan jika sekarang Tabita kembali menentang pernikahan kedua sang bunda. Wilona sudah menyiapkan diri. Namun, dia tetap tidak sanggup menghadapi kekecewaan sang putri.

"Aku nggak mau ayah baru." Tabita berujar di sela isakan. "Ayahku cuma Papi. Aku nggak mau Mami nikah lagi!"

Matahari mulai menyingsing tinggi. Persiapan Wilona telah rampung. Gaun pernikahan tersemat indah di tubuhnya. Riasan yang menawan turut menghiasi wajahnya. Dia tinggal mengendarai mobil menuju lokasi seremoni dilaksanakan.

Kemarahan Tabita sangat bertepatan dengan waktu krusial pernikahan.

Penata rias yang berada di ruangan yang sama dengan mereka pun ikut bingung. Perempuan itu terlihat kikuk, canggung dan segan karena harus menyaksikan masalah internal ibu dan anak.

Wilona mencoba untuk tetap tenang. Dia beranjak mendekati Tabita, meski sosok kecil itu berusaha menjauh darinya.

"Mami akan tetap tinggal sama kamu. Selama ini, Mami udah sering bilang, kan? Bita nggak akan sendirian walaupun Mami menikah lagi."

Tabita masih sangat murung. Air matanya mulai menetes. Dia menggeleng keras selagi menolak jangkauan tangan ibunya.

"Aku tetap nggak suka." Dia membalas dengan spontan. "I don't need another family! Aku nggak suka Mami nikah lagi dan ada orang asing di rumah ini!"

Tabita mulai sesenggukan, juga menekan tangisan, tidak dengan leluasa menyuarakan sesak yang kini menekan dadanya.

Tabita yang tidak menangis dengan lepas justru semakin memberatkan benak Wilona. Kesedihan yang terpancar di mata sang anak turut membuatnya pilu.

Seluruh kalimat bujukan tiba-tiba saja menguap di kepala. Wilona merasakan jerat rasa bersalah yang menahannya membela diri ataupun membujuk Tabita untuk menerima pernikahan ini. Sebagai anak yang menghadapi pernikahan kedua orang tuanya, dia sangat tahu kekecewaan yang dirasakan Tabita.

Broken GlassesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang