19 ; Gangguan

2.5K 324 40
                                    

SESAMPAINYA DI APARTEMEN, Nares menghubungi seorang dokter pribadi yang sering dipanggil Gala tiap kali dia terlibat masalah. Melibatkan dokter gadungan itu lagi bukanlah keputusan bagus. Nares sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tak lagi berurusan dengannya. Namun, keadaannya yang sekarang memaksanya untuk kembali menghubungi si dokter, tak peduli seberapa enggannya dia berurusan dengan pria itu.

Pegal di sekujur tubuh masih cukup terasa meski dia sempat mengonsumsi obat. Nares menyeret kakinya ke dalam apartemen. Dia menghampiri sofa di ruang tengah dan duduk di sana. Televisi besar segera dinyalakan. Nares mengisi kesunyian ruang dengan bising suara televisi.

Detak jarum jam bergerak lambat. Pandangan Nares kosong. Dia terlihat tidak fokus meski matanya sedang menatap tayangan film entah apa yang diputar acak olehnya.

Selang beberapa saat, suara bel apartemen terdengar. Dia beranjak malas dari ruang tengah. Pintu apartemen dibuka tak lama setelahnya.

Pria berambut panjang seleher mulai tampak dalam pandangan. Kaca mata bundarnya bertengger tegak di hidung yang mancung. Dia tersenyum akrab begitu melihat Nares.

"Lama nggak berjumpa, Nareswara," sapanya dengan nada bersahabat.

Nares tidak suka dengan caranya berbicara.

"Dokter Frans," ucap Nares. Lidahnya terasa pahit. Dia membenci nama itu. "Masuk."

Pria berpakaian kemeja rapi itu melangkah memasuki apartemen. Dia mengedarkan pandangan selagi membiarkan Nares menutup pintu.

"Hm, siapa yang ngira kalau kamu bakal menghubungi saya lagi? Biasanya Sagala atau asistennya yang mau menghubungi saya."

"Nggak usah bawa-bawa nama Gala di depan gue," timpal Nares. Dia lalu kembali beranjak ke ruang tengah, membiarkan si dokter mengikutinya.

"Sudah lebih dari setahun sejak kita bertemu. Saya dengar kamu masuk rehabilitasi. Tapi, sepertinya kamu manggil saya ke sini bukan karena masalah narkotika?" Pria itu menebak-nebak. Sejak melihat Nares, dia sudah mulai memperhatikan kondisinya.

"Gue rasa lo udah langsung tau tanpa harus tanya." Nares kembali duduk di sofa. Dia membiarkan layar televisi tetap menyala. "Badan gue rasanya remuk. Gue butuh obat pereda nyeri yang lebih manjur."

"Pereda nyeri cuma menurunkan sensitivitasmu terhadap rasa nyeri. Kamu nggak bisa sembuh kalau cuma dengan obat nyeri."

Nares berdecak. Dia berkomentar mengenai Dokter Frans yang terlalu banyak bicara, kemudian menyuruhnya untuk segera melakukan pemeriksaan.

Menahan ulasan senyum di bibir, pria berambut panjang itu meletakkan tas kerjanya di atas meja. Dia lalu mulai mengambil peralatan medis yang relevan untuk memeriksa kondisi Nares.

Nares memejamkan mata selagi si dokter memindai keadaan tubuhnya.

"Tumben sekali kamu berkelahi lagi," ungkap pria itu, seolah mengetahui alasan di balik buruknya kondisi tubuh Nares, padahal Nares sama sekali tidak memberi tahunya. "Kenalan berandalmu itu mulai mengejar-ngejarmu lagi?"

"Cih, berandal siapa?"

"Si bandar narkoba," jelas Dokter Frans.

Kini, Nares membuka mata. Dia menoleh pada sang dokter. Sorot matanya datar.

"Bukannya itu elo?" tembaknya langsung.

Dokter Frans tertawa.

Tawa itu mengganggu, sungguh.

"Well, saya dapat persediaan narkotika secara legal, bukan seperti mereka. Peralatan yang saya pakai buat kamu juga dijamin higienis. Buktinya, kamu nggak terjangkit HIV ataupun AIDS meskipun sempat ketergantungan obat-obatan itu."

Broken GlassesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang