14 ; Adaptasi

2.5K 380 43
                                    

PINDAH KE RUMAH Wilona tidaklah sulit bagi Nares. Barang-barang yang dia bawa tak terbilang banyak. Dia dapat melakukannya sendiri tanpa menyewa jasa angkut. Isi kopernya hanya berupa pakaian. Benda elektronik yang diambil hanya berupa laptop dan perangkat playstation. Nares sama sekali tak ambil pusing dengan kepindahan itu. Dia bahkan sengaja meninggalkan sebagian besar koleksi barangnya di apartemen, tahu betul bahwa dia masih akan mengunjungi tempat tinggal pribadinya.

Rumah Wilona hanyalah tempat singgah. Dia tak pernah berpikir akan tinggal permanen di sini. Tinggal menunggu waktu hingga Wilona lelah dengan sandiwara pernikahan dan membiarkannya tinggal di tempat lain. Nares yakin, lama-lama Wilona juga akan menyerah untuk meminta mereka tinggal bersama, walaupun sekarang dia benar-benar kukuh mempertahankan keinginan spesifik ini.

"Pada akhirnya kita juga fokus ke idup masing-masing. Ngapain gue harus serumah sama lo?" Nares sempat mengatakan ini saat mereka bertemu di masa persiapan pernikahan.

"Karena di mata orang, kita suami istri. Memang udah seharusnya kita serumah, kecuali kamu tinggal di luar negeri karena kepentingan tertentu," jelas Wilona, tak begitu termakan ucapan Nares. "This is the least thing we can do. Nggak peduli gimana hubungan kita di dalam rumah, yang penting orang-orang tau kalau kita serumah. Selain itu, gimana respons keluargamu kalau tau kita cuma main-main sama pernikahan ini?"

"Mereka udah tau kalau gue nikah karena kepaksa. Bokap lo juga. Sebenarnya lo nutup-nutupin ini dari siapa?"

Wilona menatapnya datar. Dia sama sekali tidak terhibur dengan ucapan Nares. Pertanyaan sosok itu mungkin terdengar konyol di telinganya—terlalu bodoh untuk ditanggapi.

"Kalau kamu masih belum paham, aku jelasin ke kamu." Wilona mengatakan dengan nada bosan. "Aku mau kita tinggal bareng buat menghindari kecurigaan publik. Yang mau aku lindungi adalah nama baikku dan keluargaku. Aku nggak mau lagi kehidupan pribadiku diberitakan dengan bebas cuma karena gosip-gosip semacam ini. It happened once before. I don't want to make it twice."

Nares tidak lagi menentangnya karena dia tahu kedua orang tuanya juga akan setuju dengan Wilona. Selain untuk kepentingan bisnis, ibu dan ayahnya tampak menginginkan pernikahan asli untuk putra mereka. Mereka tidak tahu bahwa Wilona selicik itu dengan menawarkan hubungan pernikahan yang tak selazimnya disetujui oleh mereka yang benar-benar ingin membangun rumah tangga.

Perjanjian pranikah memang normal. Kalau dilihat kembali, orang awam pun takkan melihat kejanggalan dalam perjanjian mereka. Wilona hanya menginginkan pemisahan kepemilikan harta, sesuatu yang lazim untuk tercantum di kertas persetujuan legal.

Satu hal yang membuat pernikahan mereka berbeda adalah kesepakatan verbal untuk tidak ikut campur dengan hidup satu sama lain, juga tentang kebebasan untuk tidak memenuhi hak dan kewajiban suami-istri.

Wilona hanya menginginkan pernikahan di atas kertas.

Orang tua mereka tidak mengetahui ini. Melalui pernikahan, mereka mungkin mengira bahwa Nares dan Wilona akan membangun rumah tangga sebagaimana mestinya. Mereka tidak tahu bahwa anak-anak mereka hanya saling memanfaatkan.

Dengan asumsi ini, Nares semakin yakin bahwa orang tuanya akan memihak Wilona jika mereka mempermasalahkan tempat tinggal. Pertimbangan itu membawanya ke tempat ini, sebuah rumah milik orang lain yang kini akan menjadi tempat tinggalnya.

Wilona kembali mengantarkannya ke lantai dua. Dia menunjukkan ruang kamar yang akan ditinggali Nares. Ruangan itu sedikit lebih berbeda dari satu setengah bulan lalu ketika dia melihatnya. Alih-alih ruangan kosong yang hanya diisi dengan tempat tidur, nakas, dan lemari, kini Nares ikut melihat adanya meja dan kursi kerja. Bantal, kain seprai, dan juga tirai kamar juga terlihat baru. Pengharum ruangan dan dekorasi kecil lain ikut melengkapi ruangan itu.

Broken GlassesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang