5 ; Impresi

2.9K 420 59
                                    

DERAS AIR HUJAN terdengar memekakan telinga, diikuti oleh decitan keras kendaraan yang menyalip kendaraan lain.

Tengah malam itu, jalanan amat lengang. Sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi, berusaha menyaingi laju mobil lain. Jalan raya yang seharusnya aman kini jadi tampak riskan. Belokan tajam terlihat amat menukik. Tiang-tiang listrik dan kaki papan reklame seolah menjadi pembatas agar mobil-mobil yang saling melaju tidak melewati garis jalan.

Licin jalan raya oleh air hujan tidaklah menghalangi aksi kebut-kebutan itu.

Detak jantung berdentum keras, dipenuhi adrenalin. Bising suara mesin dan guyuran air hanyalah lagu latar yang tak perlu diperhatikan.

Kedua telapak tangan memegang kencang kemudi. Sebelah kaki menginjak kuat pedal gas.

Pencahayaan yang minim makin mengaburkan jarak pandang yang terhalang guyuran air.

Kewaspadaan seorang pemuda di dalam mobil itu benar-benar tidak ada. Di kepalanya, yang terpatri hanyalah keinginan untuk menang, dorongan untuk mendapat pujian, pencapaian, dan pengakuan dari kawan-kawan—mereka yang senantiasa meremehkan, menuturkan sesuatu dengan makna ganda, dan berbisik kotor di belakangnya.

Atensi sosok itu terpaku pada jalanan lengang. Juga pada ambisi untuk memenangkan balap ilegal yang seharusnya tak pernah dilakukan.

Suara-suara itu berdengung di kepalanya. Dia tidak memikirkan hal lain, ataupun memperhatikan keadaan sekitar.

Fokus yang terpaku pada satu hal mengantarkannya pada sesuatu yang tak diinginkan.

Suara benturan keras mendominasi bising suara mobil. Decitan rem turut mengikuti. Nyala percikan api tampak muncul akibat gesekan karet ban mobil dengan aspal.

Sebuah kendaraan bermotor terpental jauh ke seberang jalan. Kendaraannya terantuk tiang listrik. Mesin motornya langsung mati, tepat setelah berbenturan dan setelah si pengendara terlempar ke arah yang berlawanan.

Keras tabrakan itu menciptakan pengang di telinga.

Badan mobil tampak penyok. Kaca depan terlihat retak.

Tak seperti kendaraan bermotor yang terpental jauh, mobil itu berhasil mengerem ke tepi jalan.

Beberapa papan reklame telah jatuh akibat kecelakaan itu. Kaki besi yang menopang tidak kuat untuk menahan tabrakan dari kendaraan yang melaju dengan kecepatan tinggi.

Suara guyuran air hujan kembali mendominasi.

Jalan raya masih lengang, meski berantakan.

Lampu jalan berkedap-kedip, hampir mati, makin mengurangi penerangan.

Di dalam mobil itu, seorang pemuda terdiam kaku. Telapak tangannya masih memegang erat kemudi. Hela napasnya memburu.

Dia tak merasakan sakit meski sisi pelipisnya jelas-jelas mengucurkan darah.

Detak jantung yang tadi terpacu oleh adrenalin, kini telah berpacu karena alasan lain.

Napasnya memburu. Tangannya tampak gemetar ketika dia merogoh saku celana untuk mengambil sebuah ponsel.

Layar ponsel itu basah oleh tetesan darah, juga oleh keringat dingin yang membasahi telapak tangan.

Umpatan kasar terucap dari bibir ketika dia kesulitan mencari kontak seseorang yang hendak dihubungi.

Begitu nama kontak tujuan telah ditemukan, dia langsung menekan tombol panggil.

Nada sambung yang terdengar bagaikan sirine yang sebentar lagi mungkin akan mengejarnya.

Broken GlassesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang