16 ; Bentrok

2.3K 402 95
                                    

JONATHAN AKAN MENYAKITINYA, sama seperti dulu saat pria itu menamparnya keras sampai pipinya memar, seperti saat pria itu mencekiknya hingga dia kehabisan napas, seperti saat tubuh Wilona diseret dan ditendang kasar karena dia tidak mau berdiri dan mengikuti keinginannya.

Jonathan tidak sekadar berwatak buruk.

Pria itu kejam. Dia tidak mempunyai belas kasihan. Tangisan dan teriakan Wilona tidak menggugah hati nuraninya. Alih-alih merasa iba, penderitaan Wilona tampak bagaikan pelumas yang makin mendorongnya bertindak semena-mena.

Berdiri sendiri di ruangan yang sama dengan Jonathan adalah bahaya besar buatnya.

Wilona tak dapat berpikir jernih. Kepalanya berkabut oleh kepanikan dan rasa takut. Segala topeng ketenangan yang tergambar di wajahnya kini telah sirna. Wilona mencoba melepaskan diri dari cengkeraman keras pria ini. Dia berusaha mengelak dengan menarik diri. Kakinya melangkah mundur untuk menambah kekuatan. Akan tetapi, semua usaha itu sia-sia karena Jonathan masih sekuat dulu. Tinggal di penjara selama hampir dua tahun tampak tidak berefek apa-apa buatnya.

Dia tidak terlihat tertekan ataupun menyesal.

Kesadisan di matanya masih terpancar.

Dia tak tampak seperti sosok yang sudah jera dan mengakui kesalahan yang telah dilakukan.

"Selalu begini. Kamu bahkan nggak mau jawab omonganku," katanya, terdengar rendah dan seolah lelah. Dia menangkap tangan Wilona yang lain, lalu mencekal masing-masing pergelangan tangannya hanya dalam satu genggaman. "Mungkin dulu aku emang bener. Kamu bisu?"

Wilona mengepalkan kedua tangan yang terkunci di depan. Dia mendongak, embusan napasnya berat.

"Let-me-go." Wilona menandaskan, di setiap kata. Dia menatap nyalang mantan suaminya.

Jonathan mengencangkan pegangan, memastikan Wilona telah berhenti melawan.

"Ternyata masih bisa ngomong." Dia menatap Wilona lurus-lurus. Nada meremehkan di suaranya telah hilang. Kini dia terdengar lebih serius dan marah, seakan beberapa saat lalu sikap santainya hanyalah sandiwara belaka. "Kamu ngerepotin kalau nggak nurut. Mungkin harusnya aku ikat kamu lagi biar bisa diam?"

Wilona masih gemetar. Dia mengatupkan mulut, mulai merasakan ketidakberdayaan yang akan selalu mengonsumsinya tiap kali berhadapan dengan pria ini.

Dengan sekuat tenaga, Wilona mencoba melawan rasa takut dan lemah itu.

Dia sudah berubah.

Dia tidak boleh asal menyerah hanya karena tahu bahwa Jonathan selalu mengunggulinya.

Kedua matanya terasa panas. Dan dia tiba-tiba ingin menangis. Jantungnya terasa seperti dicengkeram oleh rantai panas. Rasa takut itu menggerogotinya dan lagi-lagi dia tidak tahu harus meminta bantuan pada siapa.

"Kita udah nggak ada keperluan lagi." Wilona berusaha untuk berbicara. Suaranya terdengar seperti terjepit, menahan ledakan emosi yang menguasai.

Dia mendengar dengkusan kasar Jonathan.

"Selain kayak orang bisu, kamu juga masih bego, ya?" Dia kembali merendahkan Wilona, seperti saat dulu dia membuat Wilona mempertanyakan harga dirinya. "Di awal gue udah bilang, gue nggak suka pengkhianat. Coba lo pikir lagi, apa yang udah lo lakuin?"

Jonathan mencengkeram rahang Wilona dengan mendadak. Cengkeraman itu kencang dan menyakitkan. Wilona merasakan napasnya yang tersendat di tenggorokan.

"Lo lihat ini?" Dia mengangkat tangan yang sedang mencengkeram tangan Wilona, menunjukkan bekas luka sayat yang melintang dari pergelangan tangan hingga lengannya. "Gue hampir mati dan buntung karena lo, Bodoh."

Broken GlassesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang