2 ; Desakan

3.9K 495 37
                                    

TEPAT PUKUL SATU siang, Wilona sampai di pekarangan rumah orang tuanya. Dia memarkirkan mobil di halaman dan melepaskan sabuk pengaman yang dipakai perempuan kecil di sampingnya.

Si perempuan kecil memandang jemari sang bunda, seolah sedang memperhatikan cara untuk melepas sabuk pengaman. Mata bulatnya mengerjap. Dia mendongak ke atas begitu benda itu lepas.

"Are we going to meet grandpa, Mom?" tanya si anak dengan pelafalan Bahasa Inggris yang fasih, seolah dia sudah terbiasa menuturkannya di keseharian.

Wilona melirik perempuan kecil di depannya.

"Mm, it's been a while. Bita kangen Kakek?" ungkapnya selagi membuka kunci pintu mobil.

Tabita, anak perempuan berusia enam tahun itu, menggeleng. Dua ikat rambut di masing-masing sisi kepalanya ikut bergoyang pelan.

"Grandpa's scary," gumamnya. "And granny doesn't like me. She only likes Keisha."

Wilona terdiam sesaat. Dengan ekspresi yang masih sama, tanpa senyuman, dia mengusap kepala sang anak.

"Nenek bukan nggak suka kamu. Dia cuma sedikit galak. Kamu jangan takut," ungkap Wilona. "Nenek nggak pernah marahin kamu, kan?"

Tabita tidak langsung menjawab, seolah dia sedang mengingat-ingat.

"Nenek sering ngomel. Apakah ngomel sama dengan marah, Mam?"

"Beda. Ngomel bisa karena nenek mau menasihati kamu, bukan marahin kamu," terang Wilona. "Keisha dan Tante Jessy ada di sini juga. Nanti kamu nggak usah takut sama mereka."

Tabita memicingkan mata. Dia lalu merengut pelan, terlihat tidak suka.

"Keisha berisik."

"Kalau gitu, kamu di deket Mami aja biar nggak perlu main sama Keisha."

Sang anak masih terlihat enggan. Namun, Wilona tak punya waktu untuk terus membujuknya. Oleh karena itu, dia segera keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk putrinya, membantunya turun.

Seperti yang dia duga, mobil lain yang cukup dikenali telah terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri. Kendaraan itu—tak salah lagi—adalah kepunyaan Jessica, kakak sambung Wilona dari pihak Ibu. Pernikahan ayah dan ibu kandungnya dulu tidak berjalan baik. Mereka berdua memutuskan untuk berpisah ketika dia masih berusia dua belas. Selang empat tahun, ayahnya kembali menikah dengan Ibu Jessica. Dia dan ayahnya, yang dulu tinggal di Singapura, diharuskan pindah ke Jakarta begitu sang ayah menikah.

Wilona masih ingat masa-masa transisi yang begitu memberatkan, mulai dari adanya anggota keluarga baru dan juga lingkungan baru. Perceraian dan pernikahan kedua orang tuanya bukan sesuatu yang dia idamkan. Namun, kehidupan tidak akan selalu berjalan seperti yang diinginkan.

Wilona tetap harus beradaptasi dengan keluarga barunya. Dia tetap harus menerima sang ibu dan juga kakak, dua orang yang sampai sekarang tetap terasa jauh darinya.

Bertemu dengan mereka bukanlah sesuatu yang dia tunggu-tunggu. Namun, di sinilah dia.

Wilona menarik napas pelan. Dia menggenggam telapak tangan putrinya dan berjalan menghampiri rumah.

Begitu dia masuk, pekerja rumah tangga yang sudah amat mengenalnya segera menyapa. Wilona menanyakan keberadaan ayah dan ibunya, sosok itu langsung memberi tahu bahwa sang atasan sedang berada di ruang tengah.

Wilona mengangguk singkat sebagai ucapan terima kasih. Dia lanjut bergegas menghampiri ruang tamu. Tak perlu waktu lama hingga dia mendengar suara riang seorang anak.

Ketika dia datang, sepasang mata langsung menatap.

Ibu sambungnya memandang Wilona sesaat, sebelum lanjut menyerahkan camilan pada cucu kandungnya, Keisha.

Broken GlassesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang