26 ; Asing

1.6K 330 129
                                    

"DUDUK DI DEPAN atau gue drop kalian di tengah jalan." Adalah permintaan semi ancaman yang diutarakan Nares pada Wilona sebelum mereka bepergian.

Wilona segera mengalihkan pandangan dari layar ponsel. Dia masih berdiri di dekat pintu mobil setelah membantu Tabita masuk. Kedua alisnya terangkat setelah mendengar penuturan Nares.

Kali pertama mereka bertiga mengendarai mobil bersama, Wilona memang lebih memilih duduk di jok belakang bersama Tabita. Nares sepertinya enggan jika kejadian sama kembali terulang. Katanya, dia tak mau dianggap sebagai sopir. Perilaku Wilona seolah merendahkannya dan dia tidak suka.

Oleh karena itu, kali ini Wilona mencoba setuju-setuju saja. Dia sudah lebih mengenal Nares daripada dua bulan yang lalu. Tidak ada salahnya jika dia menuruti keinginan pria itu.

Persetujuan instan Wilona membuat Nares menatapnya kosong. Dia tampaknya tidak mengira bahwa Wilona akan bergumam mengiakan tanpa memberi sedikit pun perlawanan.

Mengesampingkan kejanggalan yang makin mengganggu dada, Nares pun ikut memasuki mobil. Dia menghidupkan kendaraan dan mulai mengeluarkannya dari garasi.

"Weekend gini pasti di sana rame banget," ucap Nares selagi memutar kemudi. "Lo pinter cari tanggal."

Wilona baru selesai mengenakan sabuk pengaman. Dia menegakkan badan.

"Karena waktu luangku cuma ada di akhir pekan," balas Wilona selagi menoleh, "Bita, jangan lupa pakai seat belt."

"Ok, Mom. Can I borrow your tablet?"

"Boleh, tapi maksimal satu jam. Kalau Mami minta kamu berhenti, kamu harus berhenti."

Selagi Tabita mengangguk, Wilona memberikan sebuah gadget pada sang anak.

Nares sempat melihatnya dari sudut mata. Dia kembali buka suara ketika Wilona sudah kembali menghadap ke depan.

"You're the boss. Lo bisa ambil cuti kalau lo mau."

"Aku nggak akan menyalahgunakan posisiku untuk keuntungan pribadi," jelas Wilona, memberi persepsi yang amat berbeda dengan yang selama ini dipraktikkan sang pria. "Jatah cutiku tahun ini udah ada yang terpakai di awal tahun. Juga waktu kita menikah. Aku perlu selektif buat memakai jatah cuti yang tersisa."

Nares meliriknya. Dia mendengkus pelan.

"Buat anak sendiri pun nggak lo spesialkan?"

"Aku mengutamakan profesionalitas," timpal Wilona dengan mudahnya. "Tetap ada waktu buat keluarga. Tapi, bukan berarti aku melalaikan pekerjaanku juga. Dua urusan itu punya porsinya masing-masing." Dia menoleh pada Nares yang sempat melihatnya. "Aku juga nggak akan pakai posisiku sebagai katrol yang memberi jalan instan buat Tabita. Suatu saat nanti, dia perlu membuktikan kemampuannya sendiri sebelum mendapatkan apa yang dia mau."

Nares kembali mendengkus. Sudut bibirnya terangkat, memberi senyuman sinis.

"Oh, emangnya ada orang yang begitu?" Dia balas melemparkan sarkasme.

Ekspresi Wilona tak memberi sedikit pun kesan terhibur. Dia hanya melirik Nares dengan air wajah datar. Ketika mereka meninggalkan gerbang rumah, dia sempat menurunkan kaca mobil untuk memberitahukan kepergian mereka pada kedua sekuriti.

Nares menyetir dengan kecepatan sedang begitu mereka sampai di jalan raya. Senyap suasana mobil mulai menghilang ketika suara lagu anak-anak berbahasa Inggris mulai terputar dari gadget yang dipegang Tabita.

Keadaan semacam ini tentunya sangat asing untuk Nares. Dia sempat menatap kaca mobil di bagian atas guna melihat si anak perempuan. Ekspresinya menyimpan percik kekesalan. Dia kembali mendengar Wilona sebelum dirinya mengucapkan kata-kata yang mungkin akan mengganggu kenyamanan si sosok belia.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 6 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Broken GlassesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang