"KAMU NGGAK BERSALAH." Dianti, sang ibu selalu mengatakan hal ini padanya. "Dia yang ikut mukul kamu, dia yang salah. Kamu nggak perlu minta maaf, biar minggu ini Ibu yang urus. Kamu cukup berangkat sekolah seperti biasa."
Nareswara, yang saat itu masih berusia lima belas tahun, hanya dapat mengangguk. Kedua tangan saling bertaut dan mengepal. Wajahnya babak belur. Dia terlihat berantakan dengan sudut bibir yang berdarah.
Kejadian hari itu masih terngiang dengan jelas. Momen ketika dia terlibat perkelahian ketika menjalani ekstrakulikuler basket. Perdebatan di dalam tim memang sudah sangat biasa. Mereka kadang berdebat mengenai strategi permainan yang kurang, juga karena latihan yang dianggap terlalu berat. Namun, semua cekcok tersebut tidak pernah menjadi hambatan yang serius. Baru kali ini mereka mendapati satu perkelahian besar yang pecah.
Suasana latihan menuju suatu kompetisi nasional memang selalu menciptakan ketegangan, entah itu karena rasa gugup ataupun rasa haus akan kemenangan. Satu hal yang pasti, semua orang menjadi rentan meragukan kemampuannya sendiri ketika mereka melakukan kesalahan kecil.
Kepercayaan diri mereka menurun. Tuntutan untuk memberikan performa yang terbaik sering kali menjadi beban.
Untuk sebagian orang, tekanan semacam itu sulit untuk dihadapi. Nares adalah sebagian dari mereka yang sulit berada di kondisi demikian.
Rangkaian latihan fisik yang berat sudah sangat menguras tenaga, belum lagi sikap keras pelatih mereka.
Berkali-kali gagal mencetak poin akibat rasa lelah itu menumbuhkan keputusasaan yang tak diinginkan. Nares merasa frustrasi karena tak dapat bermain dengan baik. Di saat yang sama, kapten tim basketnya mulai mengganti strategi tanpa dia ketahui sehingga dia makin sulit mendapat kesempatan untuk menyentuh bola.
Diabaikan dan tak dianggap keberadaannya sangatlah menyakitkan. Ketakutannya untuk digantikan makin meledak-ledak di detik-detik akhir latihan tanding. Nares menyentak si kapten yang merupakan kakak kelasnya. Mereka terlibat perdebatan sengit hingga Nares mulai melayangkan pukulan.
Mulai dari sana, suasana menjadi kacau. Nares tersulut kemarahan, begitu pula kapten timnya. Kericuhan tak dapat dihindari.
Ketika tersadar, dia sudah dilerai oleh pelatih dan teman-temannya.
Dia dan kapten tim itu dibawa ke ruang guru. Keduanya diberi ceramah panjang yang memakan waktu hampir satu jam.
Sebelum membiarkan dua murid itu pulang, guru tersebut meminta mereka untuk segera berbaikan kalau tidak ingin kedua orang tua mereka dilibatkan.
Perkelahian tadi menciptakan rasa tidak nyaman dalam dadanya. Sesaat, Nares merasa sedikit bersalah. Kakak kelas yang menjadi kapten mereka ini hampir selalu baik. Mungkin, dia saja yang terlalu menggebu-gebu dan terbawa emosi.
Ketika beranjak keluar ruangan, Nares sempat melihat sosok itu yang berjalan mendahuluinya. Dia hendak membuka percakapan saat si kakak kelas dirangkul oleh temannya yang lain. Mereka berjalan menjauh tanpa memperhatikan keberadaan Nares, meninggalkannya dengan kecamuk emosi yang tak dapat dia kenali.
Wajah yang babak belur dan penuh luka tidak luput dari perhatian orang tuanya begitu dia kembali ke rumah. Nares tidak bisa menyembunyikan keadaan ini dari sang ibu. Jadi, dia memberitahukan kejadian tadi dengan sederhana.
Sang ibu tampak tidak suka. Dia tidak ingin Nares menyalahkan diri.
"Kamu nggak perlu takut," tambah Dianti, seolah ingin menenangkan kekhawatiran anak lelakinya. "Ibu pastikan kamu tetap main di kompetisi itu. Nggak akan ada yang menggantikanmu. Biar nanti Ibu yang bilang ke pelatih dan guru pendamping eskulmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Glasses
RomansaLuka dan sakit di masa lalu membuat Wilona pesimis dengan sebuah pernikahan. Baginya yang sempat gagal dan sedang dalam masa pemulihan, pernikahan tidak lagi sakral. Pernikahan bukan lagi benang yang akan mempersatukan dua insan yang saling mencinta...