LAPORAN PEKERJAAN YANG sempat ditolak sang atasan pada akhirnya diterima juga. Nares mendengkus keras ketika pada akhirnya laporan tersebut mendapat persetujuan dari Christian.
Menjadi bawahan seseorang benar-benar memuakkan. Nares mulai gerah berada di posisi ini. Dia kembali diingatkan pada sulitnya membuat keputusan mandiri ketika keputusannya bertentangan dengan si bos besar.
Pening di kepalanya mulai terasa mengganggu. Nares masih memandang jengkel pesan elektronik yang terpapar di monitor komputernya. Niat untuk tetap patuh berada di posisi ini sepertinya takkan bertahan lama. Sekarang saja dia mulai memikirkan peluang dan cara untuk menyamakan posisinya dengan sang direktur.
Pertanyaannya adalah bagaimana? Bagaimana cara agar dia bisa dipromosikan tanpa harus kembali meminta?
Nares memainkan sebuah pulpen di sela jemari. Dia juga memandang kaca jendela, sedang mencoba memikirkan sesuatu yang selama ini sama sekali tak dia pikirkan karena dia hampir selalu mendapat sesuatu yang dia mau dengan sangat mudah.
Memikirkan taktik semacam ini sangatlah tidak biasa untuknya. Kepalanya terasa berasap dan dia tidak menyukainya. Mengapa sang ayah mau-mau saja berinvestasi di sini ketika Nares hanya mendapat jabatan sebagai manajer?
Kejengkelan tersebut mulai menyusupi dada. Lamunannya baru terpecah ketika ponselnya bergetar. Ada sebuah pesan baru yang datang.
Mendorong kursi kerja mendekati laci, Nares mengambil ponsel dan melihat nama Wilona yang muncul di layar gawai.
Kejengkelan mengenai posisi rendah di perusahaan ini tiba-tiba saja terlupakan. Dia membaca pesan dari Wilona yang memberi tahu mengenai servis mobil yang telah rampung.
"Sudah aku lunasi," katanya, tertulis pada kolom pesan. "Tinggal kamu ambil. Terserah mau diambil kapan. Garasi rumah kita udah penuh. Put your car somewhere else."
Frasa rumah kita tiba-tiba jadi terlihat begitu menonjol di matanya. Nares mengerutkan kening dalam-dalam. Dia hendak mengabaikan pesan itu. Namun, sebelum dia memupuk niat untuk tidak membalas, jarinya sudah mengetikkan balasan.
"I told you. Rumah itu kurang besar. Jangan salahin koleksi mobil gue."
Ah, sialan.
Mengapa dia jadi membalasnya?
Nares mengerjap ketika melihat Wilona yang sedang kembali mengetikkan balasan.
Sisi rasional di kepalanya menyuruh dia untuk segera menutup ponsel. Bagaimanapun juga, dia tak memiliki kepentingan darurat dengan perempuan ini. Dia tak perlu berkirim pesan dengannya.
Hanya saja, yang dia lakukan sekarang malah menunggu Wilona selesai mengetik. Ketika menyadari hal ini, dia mengumpat pelan. Namun, dia tetap tidak menutup ponsel dan malah kembali membaca pesan baru yang dikirimkan sang wanita.
"Kalau gitu, silakan bangun garasimu sendiri. Mau kamu koleksi seratus mobil pun aku nggak masalah. Sekalian kamu jadi dealer mobil. Jauh lebih menguntungkan, daripada cuma menuhin pekarangan buat garasi tempat menyimpan kendaraan yang nggak kepakai itu."
"You like to talk a lot, don't you?" Adalah balasan yang dikirimkan Nares.
"I typed. Not talked."
Nares mendengkus pelan, antara terhibur dan juga kesal.
"Anyway, one more thing. Pulang dari kantor nanti, tolong sekalian mampir ke toko elektronik. Aku sempat pesan barang di sana dan belum diambil."
"Sekarang gue pesuruh lo?"
Sepuluh menit, Wilona tak membalasnya.
Nares telah menaruh ponselnya. Baguslah jika Wilona menyerah untuk kembali menyuruh-nyuruhnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Glasses
RomanceLuka dan sakit di masa lalu membuat Wilona pesimis dengan sebuah pernikahan. Baginya yang sempat gagal dan sedang dalam masa pemulihan, pernikahan tidak lagi sakral. Pernikahan bukan lagi benang yang akan mempersatukan dua insan yang saling mencinta...