17 ; Utang Budi

2.4K 399 46
                                    

JONATHAN PERGI DENGAN keadaan mobil yang tampak rusak. Bagian belakang mobilnya terlihat penyok. Lampu mobil yang sengaja ditabrak Nares juga pecah. Namun, selain kerusakan tersebut, mesin mobil itu masih menyala. Jonathan dapat menyetir tanpa kendala.

Wilona menatap kepergiannya dari area parkir. Bahunya meluruh setelah melihat Jonathan hilang dari pandangan. Genggaman pada tas dan juga ponsel ikut melemah. Ekspresi kaku di wajahnya kini berganti dengan raut lelah. Kedua kakinya terasa goyah. Namun, Wilona menyanggupkan diri untuk tetap berdiri tegak. Dia belum bisa menanggalkan topeng yang dikenakan, tidak di hadapan seseorang.

Ketika berbalik, dia mendapati Nares yang masih tergeletak di dekat mobil. Pria itu duduk bersandar tanpa daya. Penampilannya terlihat kacau. Dia babak belur, pakaiannya berantakan dan kusut. Wilona melihat jejak darah di sudut bibirnya. Balur memar juga mulai tampak di pipi dan bagian-bagian yang terkena pukulan.

Dengan keadaannya yang sekarang, Wilona ragu jika Nares dapat bergerak tanpa bantuan. Hanya dengan melihat, Wilona bisa membayangkan rasa ngilu yang luar biasa. Dia tidak mengerti mengapa Nares belum meraung kesakitan.

"Kamu nggak kelihatan seperti orang yang menang," ucap Wilona, memecah kesunyian. "You look pathetic."

Suara Wilona menarik perhatian sang pria.

Nares memicingkan mata. Keningnya mengerut. Dia memandang Wilona dengan nyalang, kentara sekali tersinggung.

"Seharusnya lo ngaca," timpal Nares spontan. "Siapa yang lebih menyedihkan dari siapa?"

Wilona mengerjap. Dia lalu tersenyum masam. Senyum itu hampir tidak terlihat.

Namun, itulah pertama kali dia tersenyum pada Nares, torehan senyum yang tidak dibuat-buat hanya untuk formalitas.

"Aku nggak dengar kamu datang. Sejak kapan kamu di sini?"

Kekesalan Nares mulai reda. Dia mengembuskan napas dan mengalihkan pandangan. Ketika berucap, suaranya terdengar malas.

"Sejak si bangsat itu nyekik lo di deket mobil."

"Kamu mengasihani aku, jadi memutuskan buat bantu?"

Wilona mendengar Nares yang mendengkus.

"Buat apa gue kasihan sama orang yang cuma manfaatin gue?" Nares mendongak, dia menatap Wilona lurus, kali ini melihat manik mata yang juga sedang memandangnya. "Gue males ngurusin mayat orang semisal dia beneran ngebunuh lo. Dia nggak akan biarin gue pergi semisal tau ada saksi yang lihat kelakuan dia."

"Jadi, lebih baik kamu nolong aku dan babak belur daripada ikut dikejar-kejar dia?"

Nares berdecak keras.

"That's not the fucking point," tandasnya. "Selain males ngurusin mayat orang, gue juga ogah semisal harus ikut tanggung jawab buat ngasuh anak lo. Jangan harap lo bisa segampang itu mati dan lemparin beban keluarga ke gue."

Wilona hanya menatapnya. Dia tidak membalas ucapan Nares.

Alih-alih menanggapi perkataan lelaki itu, dia malah mengatakan hal yang lain.

"Mobilmu nggak kelihatan layak buat dipakai. Mendingan kamu tinggal mobil itu di sini. Nanti aku sampaikan ke sekuriti buat urus mobilmu. Kita pulang pakai kendaraanku."

Wilona mengetikkan sesuatu di ponsel.

"Kuncinya masih di mobil atau ada di kamu?" tanya Wilona lagi. Dia terdengar kelewat tenang untuk ukuran seseorang yang baru saja dianiaya. Nares memandangnya dengan sorot penuh teka-teki. Dia tampak kesulitan menilai dan menerka isi pikiran Wilona.

Broken GlassesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang