11 ; Sesak

5.9K 576 40
                                        

UNDANGAN RESEPSI PERNIKAHAN telah tersebar. Jika mereka ingin membatalkan perjodohan ini, kesempatan tersebut sudah hilang. Wilona tak bisa lagi mundur ketika sembilan puluh persen persiapan pernikahan telah rampung. Senang ataupun tidak senang, dia harus menjalankan pernikahan itu. Tidak ada lagi peluang untuk berganti pikiran atau mengubah pendirian.

Sejak awal, dia memang tak memiliki banyak pilihan.

Layar komputer memandang nyalang si empunya. Benda yang terhubung dengan sebuah tablet gambar itu menampilkan berbagai kerangka desain pakaian yang belum selesai. Gambarnya masih sangat kasar, hanya berupa corat-coretan, dan sulit dipahami orang awam.

Wilona bermaksud menyelesaikan desain produk terbarunya hari ini. Namun, runyam di kepalanya menyulitkan dia untuk mendapat inspirasi. Pensil tablet di tangannya belum kembali ditorehkan ke atas layar. Wilona menumpukan sebelah tangan di atas meja. Dia menyugar rambutnya ke belakang, sedikit menariknya, dengan harapan dapat mengurangi pening yang menghampiri.

Alih-alih mendapat inspirasi, dia malah tidak bisa berkonsentrasi. Suara ketukan pintu yang pelan hampir membuatnya berjengit. Untuk pertama kali sejak tiga jam lalu, dia mengalihkan pandangan dari tablet. Pandangannya jatuh pada pintu kantor yang terbuka, menampilkan kehadiran sang rekan kerja, Diandra.

"Aku ganggu?" tanya sosok itu saat melihat Wilona yang terlihat sibuk.

Wilona meletakkan pensil tablet ke atas meja.

"Enggak," balasnya singkat. "Aku lagi nyoba lanjutin desain aja, tapi belum ada inspirasi baru."

"Desain yang buat kerja sama bareng Eluxa?" Diandra menghampiri Wilona. Dia menutup pintu di belakangnya.

"Mm, deal dari kolaborasi ini minta masing-masing perusahaan meluncurkan produk sesuai rancangan," jelas Wilona. Dia sedikit memundurkan kursi kerjanya. "Ayesha udah mengirimiku konsep kasar produk kosmetik mereka, sekalian sama advertisement-nya. Kita perlu menyesuaikan desain produk dengan konsep itu."

Wilona memandang Diandra yang duduk di sofa ruang kerjanya.

"Ada apa, Mbak?" tanyanya langsung, menyudahi basa-basi awal. Dia tahu, Diandra datang bukan untuk membahas pekerjaan.

Wilona melihat Diandra yang hanya memandangnya.

"Aku udah dapat undangan pernikahanmu," balas sosok itu, pada akhirnya angkat bicara.

Wilona terdiam sesaat, lalu mengangguk.

"Mm, baguslah kalau undangan fisiknya udah sampai. Dua hari kemarin aku nggak sempat kasih secara langsung," komentarnya. "Tanggal segitu kamu ada acara lain? Aku nggak keberatan semisal Mbak nggak datang."

Diandra mengembuskan napas pelan.

"Bukan itu, Wilo. Aku pasti bakal datang," tuturnya. Dia terdengar lelah. Wilona sama sekali tak melihat kekhawatirannya. "Acara apa pun itu, kalau menyangkut acara besar kamu, aku pasti datang. Yang buat aku kepikiran cuma ... kenapa mendadak? Kamu nggak pernah cerita ada rencana buat menikah lagi. Apalagi setelah ... kamu tau sendiri, perceraianmu ...."

Diandra terdengar ragu dan segan untuk menyebut masa lalu Wilona. Dia seolah tahu bahwa topik mengenai perceraian dan mantan suami sang rekan kerja masih sangat tabu untuk dibicarakan, bahkan setelah tiga tahun sejak sosok itu bercerai.

"Karena kurasa memang nggak perlu diceritakan," balas Wilona lugas, dia sama sekali tidak memahami kekhawatiran Diandra. "Keputusannya memang mendadak. Acaranya juga cukup sederhana. Aku nggak melihat urgensi buat menceritakan ini ke orang-orang."

"Termasuk aku?" Diandra terdengar tidak percaya.

Wilona memandangnya kosong, masih kurang memahami alasan Diandra yang ingin tahu masalah personalnya.

Broken GlassesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang