𝟐𝟓. 𝐅𝐫𝐮𝐬𝐭𝐫𝐚𝐭𝐢𝐨𝐧

211 13 0
                                    

Free the others and make me yours

Saat Vanesha melangkah keluar dari kamar mandi, aroma tajam asap rokok langsung menyerbu indra penciumannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saat Vanesha melangkah keluar dari kamar mandi, aroma tajam asap rokok langsung menyerbu indra penciumannya. Asap tipis berwarna kelabu melayang di udara, memenuhi ruangan dengan bau yang pahit dan menggantung, membuat napasnya tertahan sejenak. Ia berdiri di ambang pintu, tubuhnya masih terbungkus handuk, matanya menyipit menembus kabut asap yang berputar-putar perlahan, seperti bayangan samar yang enggan hilang.

Kehadiran asap itu membuat Vanesha terdiam, seolah waktu mendadak melambat. Detak jantungnya yang tadinya sudah mulai tenang kembali berdebar. Ada ketegangan baru yang menyelinap masuk, menggantikan perasaan lega yang sempat ia rasakan di bawah pancuran tadi. Ia menghirup udara dalam-dalam, meskipun yang masuk ke paru-parunya adalah aroma tembakau yang pekat, bukan udara segar yang ia harapkan.

Mata Vanesha menyapu ruangan, mencari sumber asap itu. Siapapun yang berada di sana, jelas tidak peduli dengan batasan, dan kehadirannya menciptakan atmosfir yang sarat dengan ketidakpastian. Sejenak, Vanesha hanya berdiri mematung, merasakan rambutnya yang basah masih meneteskan air, membasahi kulitnya yang dingin. Namun, pikirannya cepat bekerja, mencoba memahami situasi ini.

Vanesha memutar pandangannya ke arah ranjang yang kini tampak sangat berantakan. Seprai kusut, bantal yang berserakan, dan di tengah kekacauan itu, ia melihat sosok Max duduk santai di tepi ranjang, seolah tempat itu adalah singgasana pribadinya. Senyuman miring terukir di bibirnya, seringai yang penuh percaya diri dan sedikit licik, sementara ia dengan tenang menyesap rokok di tangannya.

Asap tipis berputar-putar di sekeliling wajah Max, mengaburkan sebagian ekspresinya, namun mata tajamnya tetap bersinar jelas menatap Vanesha. Tubuhnya yang besar dan kekar tanpa sehelai benang, berotot dengan lekukan yang tegas, tampak seperti sosok raksasa yang memenuhi ruangan. Otot-otot di lengannya bergerak saat ia memegang rokok, membuat penampilannya semakin terlihat dominan dan kuat.

Ada sesuatu yang provokatif dalam cara Max duduk, satu kaki ditekuk di atas ranjang sementara tangan satunya bersandar santai di atas lututnya. Pandangannya tidak pernah lepas dari Vanesha, menelusuri tubuhnya yang masih terbungkus handuk, seolah menikmati setiap detik ketidaknyamanan yang mungkin dirasakannya. Sikapnya seperti menantang, sekaligus menyiratkan bahwa dia berada dalam kendali penuh, meskipun tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

Vanesha merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, tetapi bukan hanya karena rasa takut. Ada kemarahan yang perlahan bangkit, bercampur dengan rasa terintimidasi. Ia tahu betul bahwa senyuman Max bukan sekadar keramahan, melainkan sebuah tanda bahwa permainan yang mereka jalani masih jauh dari kata usai.

Max perlahan bangkit dari tepi ranjang, gerakannya tenang namun penuh dengan ketegasan, seolah tidak ingin membuang sedikit pun energi lebih dari yang diperlukan. Tubuhnya yang kekar dan tinggi menjulang, membuatnya tampak semakin mengintimidasi saat ia melangkah mendekati Vanesha. Ada kilatan di matanya, seakan memperlihatkan hasrat yang liar dan lapar, seperti seekor predator yang baru saja menemukan mangsanya.

Death PeakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang