Valda Carlyle dan teman-temannya berkemah di puncak Gunung Yves, tempat indah yang ternyata menyimpan kengerian. Satu demi satu temannya menghilang, dan Valda mendapati dirinya terjebak dalam permainan mematikan yang dirancang oleh seorang pembunuh...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Vanesha terus berdiri tegap dengan mata menelisik tajam ke tengah hutan yang gelap, hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang tersaring di antara dahan-dahan pohon. Tiba-tiba, sebuah pisau melesat cepat dari kegelapan, menggores pipinya, dan darah segar menetes perlahan di wajahnya. Rasa sakit seketika menyulut adrenalin. Tanpa ragu, ia menyiapkan Benelli M4 di tangannya, jari-jarinya siap menarik pelatuk kapan saja.
Dari balik bayangan pepohonan, muncul seorang pria berbaju serba hitam, mengenakan topeng yang menutupi wajahnya. Dengan kecepatan kilat, dia menyerang Vanesha, namun ia tak gentar. Dengan gerakan gesit, Vanesha memanfaatkan shotgun di tangannya sebagai penopang sekaligus senjata, menangkis serangan yang bertubi-tubi. Setiap ayunan dan tebasan dari pria itu berhadapan dengan tubuh senjata yang kokoh, menimbulkan dentingan logam keras di antara mereka.
Mesin gergaji yang berdengung di kejauhan menambah kesan mencekam di tengah hutan yang sepi. Pria bertopeng itu mengayunkan kapaknya dengan brutal, mencoba menghantam Vanesha, namun dia selalu berhasil menghindar dengan gerakan yang terlatih. Vanesha menendang tanah, melakukan loncatan dan gulungan yang cepat untuk menghindari tebasan, sembari berusaha mencari celah untuk membalas.
Setiap kali kapak itu meleset, Vanesha membalas dengan dorongan keras menggunakan popor shotgun-nya, menghantam tubuh pria itu dengan kekuatan yang cukup untuk mengguncang keseimbangannya. Namun, pria bertopeng itu tak kalah tangguh. Dia bangkit kembali setiap kali terjatuh, mengayunkan kapaknya dengan lebih ganas.
Pertarungan menjadi semakin sengit, napas Vanesha dan pria itu terdengar berat, namun tak ada yang mundur. Suara dentuman Benelli M4 sesekali membelah keheningan, memantul di antara pepohonan ketika Vanesha menembakkan peluru dengan presisi yang mengagumkan, memaksa pria itu untuk terus bergerak atau menerima nasibnya di ujung peluru.
Meskipun mengenakan gaun satin wrap dress hitam yang elegan dan sepatu hak tinggi, gerakan Vanesha tetap lincah tanpa hambatan. Setiap langkahnya mencerminkan keanggunan yang mematikan, dengan kecepatan dan ketepatan yang tak terduga. Tidak ada yang bisa meremehkannya hanya karena penampilannya. Setiap gerakan terukur, seperti tarian yang dipadukan dengan kekuatan.
Saat pria bertopeng itu kembali menyerang, Vanesha dengan cepat merunduk, menghindari tebasan kapak yang nyaris menghantamnya. Dengan gerakan cekatan, ia merogoh salah satu pisau lipat dari sabuk senjata yang melingkar di pahanya—sabuk yang penuh dengan amunisi dan alat-alat tempur lainnya. Tanpa ragu, ia melemparkan pisau itu ke arah pria tersebut, mengarah tepat ke pundaknya. Pisau itu menancap dengan sempurna, membuat pria itu meringis kesakitan, terdengar jelas meski topeng menutupi wajahnya.
Vanesha memanfaatkan momen kelemahan itu. Ia mengangkat Benelli M4-nya, siap untuk mengakhiri pertarungan dengan satu tembakan terakhir. Namun, sebelum ia sempat menarik pelatuk, pria itu mulai mundur dengan cepat, terhuyung-huyung sembari menahan luka di pundaknya. Ia menyadari ketepatan dan kemampuan Vanesha yang tak bisa dianggap enteng, memilih untuk melarikan diri ke dalam kegelapan hutan.