𝟐𝟔. 𝐇𝐨𝐥𝐝𝐢𝐧𝐠 (𝟐𝟏+)

1.7K 54 2
                                    

At least I know my weakness

Ruangan itu dipenuhi oleh suara lenguhan yang bercampur dengan sentakan, menciptakan ritme dari gesekan dua kulit yang saling bertemu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ruangan itu dipenuhi oleh suara lenguhan yang bercampur dengan sentakan, menciptakan ritme dari gesekan dua kulit yang saling bertemu. Suara-suara itu menggema, memenuhi sudut-sudut ruangan dengan nada yang berisik dan menggelegar. Di tengah udara yang berat dan panas, tubuh-tubuh yang berpeluh tampak beradu dalam keintiman yang penuh gairah, namun juga kasar.

Keringat mengalir deras, membasahi setiap lekuk tubuh mereka, menambah kilau di bawah cahaya redup yang menerangi ruangan. Setiap sentuhan terasa menggigit, setiap gerakan disertai dengan desahan yang menyiratkan rasa sakit dan kenikmatan yang berpadu jadi satu. Nafas mereka memburu, berat dan terputus-putus, seolah ruangan itu menyerap setiap desah yang keluar.

Tangan-tangan yang mencengkeram erat, kuku-kuku yang menancap, dan bibir yang terkadang terbuka untuk menyuarakan jeritan tertahan menambah intensitas dari momen tersebut. Keheningan malam seakan tertutupi oleh suara kulit yang beradu, menciptakan atmosfer yang intens, seolah waktu berhenti dan hanya tersisa ketegangan di antara keduanya.

Vanesha tak mampu menahan rasa perih yang luar biasa menyengat di area kewanitaannya, rasa sakit yang belum sepenuhnya sembuh kini terasa semakin menyiksa. Setiap gerakan kasar Max membuatnya meringis, memaksa tubuhnya menggeliat menahan rasa sakit yang tajam.

Rasa nyeri itu seperti bara yang terus menyala, membuat otot-ototnya menegang seiring dengan denyutan yang tak henti-henti. Meski ia mencoba untuk tetap tenang, wajahnya tak bisa menyembunyikan penderitaan yang dirasakannya. Nafasnya terputus-putus, berusaha mengatur ritme agar tidak menambah beban rasa sakit yang kian menghujam.

Bibirnya bergetar, menahan desah lirih yang hampir tak terdengar. Mata Vanesha memerah, menatap kosong ke arah dinding, seolah mencari pelarian dari rasa perih yang terus menggerogoti tubuhnya. Dia tahu bahwa proses pemulihan ini akan lama, namun setiap detiknya terasa seperti cobaan berat yang tak pernah berakhir.

Jemari Vanesha gemetar saat ia berusaha mencari sesuatu untuk dijadikan pegangan, mencoba meraih sisi kursi atau apa pun yang bisa menahan tubuhnya. Namun, cengkeramannya terasa lemah dan rapuh, seperti daun yang diterpa angin. Sementara itu, Max terus bergerak dengan brutal, tidak memberi Vanesha kesempatan untuk menarik nafas atau merasakan jeda dari tekanan yang kian bertambah.

Tangan Vanesha berusaha mati-matian menggenggam, tetapi setiap gerakan liar dari Max membuatnya semakin sulit untuk bertahan. Kukunya menggores permukaan kursi, menciptakan bunyi gesekan halus yang tenggelam dalam deru nafas berat dan suara kasar yang memenuhi ruangan. Ia bisa merasakan sendi-sendi tangannya yang nyaris patah, namun itu adalah satu-satunya cara untuk menahan diri dari rasa sakit dan kekuatan yang mendera tubuhnya.

Matanya terpejam erat, mencoba menahan luapan kesakitan. Hanya tangannya yang terus berjuang, mencari pijakan di tengah badai yang tak kunjung mereda, seolah harapannya akan kekuatan kecil di antara kekacauan yang brutal.

Death PeakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang