𝟐𝟕. 𝐏𝐚𝐧𝐢𝐜

119 7 0
                                    

When you don't come back soon

Dalam sebuah ruangan kepala yang elegan, dominasi warna gelap seperti hitam dan abu-abu tua menciptakan suasana yang serius dan penuh ketegangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dalam sebuah ruangan kepala yang elegan, dominasi warna gelap seperti hitam dan abu-abu tua menciptakan suasana yang serius dan penuh ketegangan. Dinding yang dilapisi panel kayu gelap menyatu dengan lantai kayu yang halus, memberikan kesan mewah namun juga menekankan nuansa misterius. Sebagian besar furnitur di ruangan ini dirancang dengan bentuk yang minimalis, berwarna gelap, dan terbuat dari bahan berkualitas tinggi.

Di tengah ruangan, berdiri seorang pria dengan rambut hitam yang rapi, mencerminkan ketegasan dan disiplin. Di dadanya, terdapat sebuah tulisan yang mencolok: “Alex Noerdin.” Dengan postur tegak dan wajah yang serius, ia menundukkan pandangannya, seolah menyimpan berbagai pikiran dalam benaknya.

Di sudut ruangan, kepala FBI terlihat tengah memijat pelipisnya, aura kekesalan memancar dari setiap gerakannya. Ekspresi wajahnya yang tegang menandakan beban pikiran yang berat, seolah ia berusaha menenangkan diri di tengah situasi yang menegangkan. Suasana di sekitar mereka dipenuhi ketegangan, di mana setiap detik terasa seakan menguji kesabaran dan kewaspadaan.

Lampu-lampu redup di langit-langit menyoroti suasana dengan cahaya lembut, memberikan kontras yang dramatis terhadap kegelapan ruangan.

"Jadi, Vanesha melakukan pencarian tanpa mendiskusikan hal ini dengan agen kita, begitu?" Pria bernama Cassandra Blake mengangkat wajahnya, menatap Alex dengan tatapan tajam yang seolah mampu menembus jiwanya. Alex, terperangkap dalam ketegangan, menundukkan kepala dan mengangguk dengan ragu, suaranya bergetar saat menjawab.

"Iya, Pak."

"Kenapa kau tidak segera melapor?!" suara Blake membentak, menggema dalam ruangan yang sudah tegang. Ia berdiri dengan gerakan yang mendominasi, menggebrak meja dengan keras sehingga semua barang di atasnya bergetar. Alex terperanjat, jantungnya berdebar cepat, gelagapan mencoba merespons situasi yang tiba-tiba menjadi menakutkan.

Blake, dengan ekspresi marah yang menyoroti garis wajahnya, memutar meja dan melangkah mendekat. Suara napasnya terdengar berat, seolah beban tanggung jawabnya begitu besar. Ketegangan semakin memuncak, dan suasana di ruangan menjadi semakin mencekam. Setiap kata yang diucapkan Blake seperti menghujam dalam, menuntut penjelasan yang tak dapat diberikan Alex.

"Ah, begini, Pak," Alex memulai, suaranya bergetar seiring dengan rasa gugup yang semakin menyelimutinya. "Sebenarnya saya ingin melapor, tetapi saya berpikir bahwa Vanesha bisa mengatasi situasi ini. Anda tahu, dia adalah wanita yang tangguh."

Cassandra Blake, yang masih berdiri di hadapannya dengan sikap penuh kemarahan, mendengus sinis. "Bodoh! Sangat bodoh!" ucapnya dengan nada yang menegangkan, suaranya terdengar seperti guntur yang menggelegar di ruangan yang sunyi itu.

Kemarahan Blake menciptakan suasana yang semakin menekan. Ia melangkah lebih dekat, wajahnya semakin mendekat ke arah Alex, matanya menyala penuh ketidakpuasan. "Tangguh bukan berarti bisa bekerja sendirian tanpa koordinasi! Ini bukan hanya tentang dia, tetapi tentang seluruh tim!"

Death PeakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang