𝟑𝟓. 𝐁𝐞𝐡𝐚𝐯𝐢𝐨𝐫 𝐨𝐫 𝐌𝐢𝐬𝐭𝐚𝐤𝐞𝐬

79 15 2
                                    

First rule: don't underestimate your opponent.

"Jadi, apakah sekarang kita harus saling menyalahkan?" Jasper angkat bicara dengan nada tegas, mencoba meredam ketegangan yang kian membara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jadi, apakah sekarang kita harus saling menyalahkan?" Jasper angkat bicara dengan nada tegas, mencoba meredam ketegangan yang kian membara. Dia berdiri tegak, memperhatikan para penjaga yang baru saja menutup pintu di belakang mereka. Beberapa pria, yang sebelumnya berniat mengantar mereka pulang, kini menampilkan raut wajah dingin dan tanpa belas kasihan, memaksa mereka kembali masuk ke dalam ruangan sempit dan suram itu. Dinding-dindingnya seakan menyerap cahaya, menciptakan bayangan yang mengintimidasi, sementara udara lembab yang pengap mengundang rasa tidak nyaman.

Pilihan yang buruk, pikir Jasper, tetapi tampaknya mereka tidak punya pilihan lain. Ava, yang berdiri di sampingnya, menghela napas dengan frustrasi. Dia melipat tangannya di depan dada, seolah berusaha menahan amarah yang kian memuncak. Tatapannya tajam, menusuk penjaga itu dengan rasa marah yang hampir meledak. Di sudut bibirnya, ada lengkungan kecil dari senyum pahit, seolah ingin menantang apa pun rencana pria itu selanjutnya.

"Aku benar-benar tidak mengerti denganmu, Valda," kata Ava, suaranya mengandung kelelahan yang tersirat dari perasaan putus asa saat ia mengalihkan pandangan pada Valda. "Kau bilang kakakmu akan datang untuk menyelamatkan kita, dan ketika itu benar-benar terjadi, kau malah menolak untuk pulang. Sebenarnya, siapa yang mempermainkan siapa di sini? Pembunuh itu atau kau, Valda?"

Valda tak menjawab, hanya diam dengan ekspresi yang sulit dibaca. Matanya terlihat kosong, seolah ada pergulatan batin yang tak mampu ia jelaskan. Ruangan itu terasa semakin menekan, dengan dindingnya yang gelap dan cahaya redup yang hampir tak memberikan harapan. Keheningan menggantung di udara, menciptakan atmosfer yang penuh ketegangan dan misteri.

Zephyr yang melihat ketegangan itu langsung bertindak, menggenggam tangan Valda yang sempat terlepas. Ia merasakan jemari Valda yang dingin, seakan menyerap kegelisahan yang merayap dalam hatinya. Zephyr memandang Ava dengan sorot mata lembut namun tegas, mencoba meredam ketegangan di antara mereka.

"Ava, aku paham keinginanmu untuk bebas dan kekhawatiranmu agar kita tetap bisa bertahan hidup," ujar Zephyr dengan nada penuh pengertian. "Tapi, bagaimanapun juga, ini adalah situasi yang sangat sulit. Valda berharap kakaknya sendiri yang datang dan menyelamatkan kita, bukan mendengar kabar dari seorang pria asing yang tak dikenal. Kau tahu, itu pasti sangat mengkhawatirkan kalau kau berada di posisi Valda."

Zephyr menarik napas sejenak, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. Matanya menatap wajah Ava yang masih tampak keras, seolah berusaha menembus lapisan emosinya. "Setidaknya sekarang kita punya sedikit petunjuk," lanjutnya, lebih pelan. "Kita tahu bahwa yang terperangkap di sini mungkin bukan hanya kita, tetapi juga kakak Valda—Arnelita Vanesha. Kau bisa bayangkan seberapa berat bagi Valda menghadapi ini semua, kan? Kekhawatirannya, ketidakpastian yang menghantui setiap detik. Dan lagipula, kita adalah tim. Tidak seharusnya kita saling menyalahkan."

Zephyr meremas tangan Valda sedikit lebih erat, memberikan dukungan yang dibutuhkannya. "Di sini, kita sama-sama berjuang untuk hidup," katanya dengan mantap. "Kita harus saling mengerti dan mendukung satu sama lain, karena hanya itu yang bisa membuat kita tetap bertahan."

Death PeakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang