𝟑𝟔. 𝐌𝐨𝐯𝐞 𝐁𝐫𝐞𝐚𝐭𝐡𝐞

12 4 1
                                    

Whisper in your ear and lick it, oh you look sweet mine

Dalam keheningan lorong yang sunyi dan gelap, Max menatap tajam, sebelah alisnya terangkat saat mendengar pernyataan dari wanita yang terpojok di depannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dalam keheningan lorong yang sunyi dan gelap, Max menatap tajam, sebelah alisnya terangkat saat mendengar pernyataan dari wanita yang terpojok di depannya. Suara itu terdengar tegas namun ragu, "Aku bukan milikmu Max." Kata-kata tersebut justru membuat Max terkikik pelan, senyum sinis tersungging di bibirnya.

Lorong itu dipenuhi bayangan yang tampak mengancam, dengan cahaya remang-remang dari lampu neon yang berkedip sesekali, menambah suasana seram di sekitarnya. Wajah Max terlihat lebih menyeramkan dalam pencahayaan samar tersebut, mata abu abu gelapnya berkilat penuh obsesi. Ia mengambil langkah lebih mendekat, terasa lambat namun pasti, seperti pemangsa yang mengepung buruannya.

Vanesha berusaha keras menyembunyikan perasaan terpojoknya saat Max semakin mendekat, mempersempit jarak di antara mereka. Meski berusaha tetap tenang dan mempertahankan wajah tanpa ekspresi, ketegangan itu tampak jelas pada gerakan kecilnya—tarikan napas yang semakin cepat, jemari yang gemetar di sisi tubuhnya. Bagaimanapun, dia tak bisa memungkiri bahwa aura dominan pria di depannya begitu kuat, seolah menekan dan menguasai setiap inci ruang di sekitar mereka. Bahkan sebagai seorang agen FBI yang berpengalaman, Vanesha merasa rapuh, seakan seluruh pelatihan dan keberaniannya runtuh di hadapan tatapan tajam Max.

Max berhenti tepat di hadapannya, wajahnya dipenuhi senyum yang samar namun mematikan. Matanya menyipit, memandang Vanesha seolah sedang menantang ketakutan terdalamnya. Dengan suara rendah yang berat, penuh dengan nada ejekan, dia berbicara, "Bisa kau katakan sekali lagi, Arnelita Vanesha?"

Nada suaranya bukan sekadar permintaan, melainkan perintah terselubung yang memaksa. Nama lengkap itu terucap seperti mantera yang membangkitkan rasa takut, menggema di lorong sunyi yang kini terasa semakin menyempit. Vanesha berusaha menahan diri untuk tidak mundur, menatap Max dengan keberanian yang nyaris patah, sementara bayangannya sendiri tampak goyah di bawah cahaya temaram yang mengintip dari ujung lorong.

Vanesha membuang napas kasar, suaranya terdengar kesal saat mendecih pelan. "Yah, apa salahnya aku mengatakannya? Aku bukan milikmu, kan? Kau yang mengaku-ngaku." Ia menatap Max dengan pandangan tajam, meski di balik sorot matanya tersimpan kebingungan yang mendalam. "Kau tahu, sampai sekarang aku masih belum mengerti apa maksudmu dengan mengatakan aku adalah istrimu dan kau adalah suamiku."

Dia berhenti sejenak, bibirnya bergetar sedikit saat mengucapkan kata-kata itu, seolah-olah sedang mencari celah logis dalam kebingungannya sendiri. "Benar, suamiku memang memiliki nama yang sama sepertimu—Maximilian Rhett Ironwood. Wajah kalian sama, bahkan tinggi dan postur tubuh serupa. Corak mata, cara bicara, semuanya sama persis ..." Vanesha terhenti, pandangannya sejenak melayang, sebelum kemudian mendengus dengan getir.

"Namun, ada satu hal yang berbeda." Suaranya melembut namun penuh tekanan, seakan-akan ingin menegaskan batas antara kenyataan dan ilusi. "Max, suamiku, sudah meninggal lima tahun yang lalu. Dia pria baik, bukan pembunuh seperti kau. Dia tidak pernah kasar, tidak pernah menyakiti siapa pun. Dia adalah sosok yang penuh cinta dan kelembutan, bukan seperti monster yang berdiri di depanku sekarang."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 4 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Death PeakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang