𝟏𝟗. 𝐓𝐡𝐚𝐭 𝐌𝐚𝐧

169 15 0
                                    

In the end the passion will still burn

Vanesha mengerang pelan, merasakan sakit berdenyut di kepalanya saat ia perlahan mulai tersadar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Vanesha mengerang pelan, merasakan sakit berdenyut di kepalanya saat ia perlahan mulai tersadar. Matanya yang masih kabur menangkap bayangan samar-samar sebuah ruangan. Saat pandangannya semakin jelas, ia mendapati dirinya terbaring di atas ranjang empuk yang begitu nyaman dan luas, seolah tenggelam dalam kasur mewah itu.

Ruangan di sekitarnya dihiasi dengan warna-warna gelap—dinding hitam pekat, tirai beludru abu-abu tebal yang menjuntai hingga lantai, dan lampu temaram yang memancarkan cahaya lembut, menciptakan suasana yang misterius sekaligus megah. Di langit-langit, sebuah lampu gantung kristal menjuntai, berkilauan samar di bawah cahaya redup.

Namun, kenyamanan ini dengan cepat berubah menjadi kecemasan saat Vanesha menyadari kedua tangannya terikat erat di atas kepala, dirantai pada papan ranjang yang terbuat dari kayu mahoni hitam. Perasaan terjebak menggelayuti pikirannya saat ia mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi usahanya sia-sia.

Sorot mata tajam Vanesha segera tertuju pada sudut ruangan, tempat sebuah kamar mandi bersekat kaca transparan berdiri mencolok. Di dalamnya, air mengalir deras, menciptakan bunyi gemericik yang menggema lembut di ruangan mewah tersebut. Uap tipis memenuhi kaca, membuat pandangan sedikit kabur, namun cukup jelas untuk melihat siluet seseorang yang tengah mandi di baliknya.

Pancuran air menghujani tubuh sosok tersebut, menciptakan kilauan samar di bawah cahaya lembut yang berasal dari lampu di langit-langit kamar mandi. Gerakan tangan yang menyapu rambutnya menunjukkan ketenangan, seolah-olah tidak ada kesadaran akan keberadaan Vanesha yang terikat di dekatnya.

Suasana misterius dan tegang semakin terasa, membuat Vanesha merasakan ketidakpastian, sekaligus kewaspadaan terhadap siapapun yang berada di balik kaca itu.

Lirikan mata Vanesha kemudian beralih ke meja yang tak jauh di hadapannya. Di atasnya, sabuk senjata yang semulanya melingkar di pahanya kini tergeletak rapi, penuh dengan amunisi, bersama shotgun Benelli M4 miliknya yang diletakkan di sampingnya. Tanpa perlengkapan yang biasa menjadi bagian dari dirinya, Vanesha kini hanya berbalut gaun satin hitam, model wrap dress yang melingkar anggun di tubuhnya. Ia mendengus kecil, merasa rentan, namun tidak kehilangan ketenangannya.

Dengan cepat, mata tajamnya menyapu ruangan, insting sebagai agen FBI yang terlatih mulai bekerja. Ia meneliti setiap sudut, mencoba mencari petunjuk. Ruangan ini tampak mewah dan penuh kemegahan, mengesankan pemiliknya sebagai seseorang dengan kekayaan melimpah. Perabotan di dalamnya terbuat dari kayu gelap berukir halus, dipadu dengan furnitur kulit yang berkilauan di bawah cahaya lampu gantung kristal yang mahal. Lantai marmer hitam mengkilap memantulkan bayangan perabotan dan cahaya redup, menambah kesan elegan sekaligus angkuh.

Setiap detail, dari vas-vas kristal hingga karya seni kontemporer yang menggantung di dinding, menunjukkan rasa estetika yang mahal. Ruangan ini lebih dari sekadar tempat tinggal—ini adalah pernyataan kekuasaan dan kemewahan, seolah pemiliknya ingin memperlihatkan betapa luar biasanya kekayaannya. Vanesha mengamati semuanya dengan penuh waspada, setiap detil menambah ketegangan di dadanya.

Death PeakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang