Bau khas rumah sakit semakin jelas ketika pintu di hadapannya terbuka, menampakkan sosok wanita paruh baya yang tengah tersenyum sembari menggerakkan tangan memanggil Alika mendekat.Senyum itu belum pudar bahkan setelah Alika duduk di kursi yang ada di samping ranjang tempat Sarah berbaring. Namun sebelumnya, Alika meletakkan lebih dulu parcel buah diatas meja.
"Sudah lama sekali Mama tidak lihat kamu."
Alika diam dengan raut wajah yang terkejut. Panggilan itu masih tersematkan padahal jelas, Sarah sudah mengetahui jika hubungannya dan Rifqi telah berakhir dua tahun yang lalu.
Dulu, diawal Alika dipertemukan dengan Sarah, wanita paruh baya itu langsung menyuruhnya memanggil Mama. Namun, sekarang walau hubungannya dan Rifqi telah berakhir, panggilan Mama itu sepertinya masih ingin Sarah pakai untuk menyematkan dirinya.
Alika gamang, ingin memanggil Mama atau Tante. Alhasil, ia memilih panggilan pertama agar tidak membuat canggung suasana, walau sebenarnya kedua pilihan itu sama-sama membuatnya canggung.
"Mama apa kabar?"
Pertanyaan basa basi yang sebenarnya tidak perlu dipertanyakan sebab mata Alika masih berfungsi dengan baik. Di depannya, tubuh kurus Sarah terpampang nyata, belum lagi kepalanya yang tertutupi penutup kepala serupa dengan kupluk yang Alika bisa tebak, dibalik benda tersebut ada sesuatu yang memilukan yang disembunyikan.
Sarah tertawa kecil. Ia mencoba memposisikan tubuhnya yang berbaring menjadi duduk dengan bantuan Alika.
"Kamu kentara sekali groginya" komentar Sarah. "Mama baik. Kamu bisa lihat sendiri." Alika menahan napas. Ucapan Sarah berbanding terbalik dengan kondisinya sekarang. "Seperti yang kamu lihat sekarang, Alika. Tidak mungkin Mama bilang keadaan mama tidak baik, bukan? Setidaknya, Mama harus afirmasi ke diri Mama sendiri kalau Mama baik-baik saja." lanjutnya.
Senyum itu, senyum yang tulus. Alika tidak melihat keterpaksaan di sana.
"Sekarang giliran Mama yang bertanya. Kamu apa kabar?"
Alika ikut tersenyum kala Sarah semakin menarik ujung bibirnya. "Aku baik, Ma."
"Alika.." panggil Sarah, meraih tangan kanan Alika untuk digenggam. "Terimakasih sudah bersedia datang. Sebenarnya, mama tidak berharap banyak kamu akan datang mengingat Rifqi pernah membuat kamu terluka."
Alika kembali menahan napasnya.
"Bahkan sampai sekarang pun, mama masih ada perasaan kecewa ke Rifqi. Tapi semuanya sudah berlalu" Sarah menatap Alika. "Rifqi udah cerita soal kemarin, yang dia minta maaf ke kamu."
Bingung ingin memberi reaksi seperti apa, Alika hanya mengangguk.
"Kamu beneran udah maafin Rifqi, kan?" tanya Sarah. "Selagi kamu belum sungguhan memaafkan Rifqi, mama rasanya belum bisa tenang. Mama seorang wanita, mama tau bagaimana rasanya ada diposisi kamu. Asal kamu tau, mama ada lima bulan musuhin Rifqi. Bukan musuhin yang gimana-gimana, maksudnya, mama nggak nanya seputaran basa basi seperti kegiatan dia apa, sudah makan, lagi apa, di mana dan sebagainya" Sarah terkekeh mengingat betapa kecewa dan marahnya ia terhadap anaknya itu.
Mendengar itu, Alika ikut tertawa.
"Aku udah maafin Rifqi kok, Ma. Dua tahun aku pendam kecewa dan amarahku, ternyata semuanya malah berbalik, aku merasa tidak tenang. Akhir-akhir ini, setelah pertemuanku dengan Riqfi, maksudnya, setelah Rifqi datang dan minta maaf, secara ajaib, aku merasakan kelegaan yang luar biasa. Aku merasa ada sisi diriku yang kembali hidup" Alika mengelus tangan Sarah. "Kesimpulan yang bisa aku rangkum adalah menyimpan dendam ternyata tidak baik, Ma." lanjutnya berusaha bercanda agar suasana lebih mencair.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terbaliknya Dunia Dirga
Chick-Lit. . . [Bisa Baca "Pak to be Mas" dan "After We're Together" lebih dulu biar paham ya, guys] (UNPUBLISH!!!)