Bab 82. White Lie

102 7 0
                                    

Raut wajah Gilda begitu gelisah memikirkan dirinya tak kunjung bertemu dengan Fargo. Sudah beberapa kali dia meminta bertemu dengan Fargo, tapi Maise tak juga mengizinkannya. Bahkan hingga detik ini kekasihnya itu tak menemuinya. Rasanya dia benar-benar nyaris putus asa. Sekarang hubungannya dengan Ernest sudah tak lagi sama. Bisa dikatakan Ernest tidak peduli padanya lagi.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" Gilda meremas-remas kuat rambutnya memikirkan solusi paling terbaik. Dia merutuki keadaan yang membuat hubungannya dan Fargo harus terbongkar seperti ini. Rencana yang dulu dia susun menjadi berantakan.

"Nona Gilda." Seorang perawat melangkah masuk ke dalam ruang rawat Gilda. "Silakan diminum obatnya, Nona." Perawat itu meletakan obat Gilda ke atas meja.

Gilda menatap dingin obatnya yang ada di atas meja. Benaknya memikirkan kalau saja dirinya masih hamil, pasti hidupnya jauh lebih bahagia. Fargo pasti akan lebih mencintainya. Namun, tak bisa memungkiri ada sebuah rasa bersyukur dalam hati Gilda karena dirinya keguguran. Jika sampai dirinya masih mengandung, pasti semua akan rumit. Termasuk tubuhnya akan menjadi gemuk. Karir modelnya baru-baru ini sedang naik. Hamil akan menghambat segala mimpinya. "Nanti aku akan minum obatku," jawab Gilda datar pada sang perawat.

"Baik, Nona," balas sang perawat. "Maaf, apa Nona membutuhkan sesuatu sebelum saya pergi dari sini?" tanyanya ramah dan sopan.

"Hm, apa di depan kau melihat ibuku dan ayahku?" Gilda sejak tadi memang tak melihat ibunya. Terakhir ibunya bilang akan datang menjenguknya sedikit terlambat.


"Tidak, Nona. Saya tidak melihat Nyonya Maisie dan Tuan Ernest," jawab sang perawat itu lagi.Senyuman samar di wajah Gilda terlukis mendengar ibunya dan ayah tirinya tak ada. Dia yakin ibunya pasti masih di rumah karena mual hebat. Kandungan ibunya masih memasuki trimester pertama.

"Boleh aku minta tolong padamu?" tanya Gilda menatap sang perawat.

"Tentu, Nona. Apa yang bisa saya bantu, Nona?" tanya sang perawat sopan.

"Tolong antarkan aku ke ruang rawat Fargo Jerald. Aku ingin bertemu dengannya sekarang," pinta Gilda yang sudah tak sabar ingin bertemu dengan Fargo. Sudah sejak beberapa hari ini, dia benar-benar tersiksa. Kali ini dia akan bertemu dengan Fargo bagaimanapun caranya.

"Maaf, Nona, tapi Nyonya Maisie berpesan, Anda tidak boleh bertemu dengan Tuan Fargo," jawab sang perawat menyampaikan pesan Maisie—yang melarang Gilda bertemu dengan Fargo.

"Tidak usah dengarkan ibuku. Aku ingin bertemu dengan Fargo sekarang," tegas Gilda memaksa.

"Nona, tapi—"

"Jika kau tidak mau mengantarku, biar aku pergi sendiri saja. Kakiku tidak lumpuh. Aku masih tetap bisa berjalan." Gilda menatap dingin, dan tajam perawat yang menolaknya.

Sang perawat kebingungan mendengar ancaman dari Gilda. Di sisi lain, perawat itu sudah diberikan perintah oleh Maisie, tetapi di sisi lainnya lagi, sang perawat tak mungkin membiarkan Gilda keluar ruang rawat hanya sendirian. Meski bisa berjalan, tapi kondisi Gilda belum sepenuhnya pulih. Dokter juga belum mengizinkan Gilda untuk pulang.

"Baiklah, Nona. Saya akan mengantarkan Anda ke ruang rawat Tuan Fargo. Tapi saya mohon Anda tidak berlama-lama di ruang rawat Tuan Fargo." Perawat itu akhirnya menuruti keinginan Gilda.

Gilda mengangguk dan melukiskan senyuman puas. "Aku berjanji tidak akan lama." Perawat itu langsung membantu Gilda duduk di kursi roda yang sudah ada di sana. Detik selanjutnya, perawat itu mendorong kursi roda Gilda—menuju ruang rawat Fargo. Pun Gilda kali ini tampak senang, karena akhirnya perawat menurutinya. Paling tidak Gilda sekarang bisa bertemu dengan Fargo.

Damian & KimberlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang