Mata Kimberly melebar terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Brisa. Begitu pun Carol yang ada di samping Kimberly ikut terkejut. Tampak Kimberly nyaris tak mampu berkata-kata akibat mendengar kabar dari sang asisten. Raut wajah Kimberly begitu memucat panik."Bagaimana mungkin itu bisa terjadi, Brisa?!" seru Kimberly dengan nada tinggi, dan keras. "Brisa, aku tahu kondisi perusahaan baik-baik saja. Selama Kimberly tidak datang ke perusahaan, aku selalu memeriksa keadaan perusahaan. Kau pasti salah," sanggah Carol meyakinkan kalau informasi Brisa pasti salah. "Nyonya Kimberly, Nona Carol, saya juga bingung apa yang sebenarnya terjadi. Saat ini saya masih menyelidiki kekacauan ini, tapi dugaan saya, ada seseorang yang memiliki power tinggi sampai mampu membuat kekacauan seperti ini." Brisa berucap dengan resah dan kepanikan yang melanda. Kimberly menghela napas dalam dan memejamkan mata singkat. "Aku tidak pernah memiliki musuh dalam berbisnis, Brisa. Ayahku juga tidak memiliki musuh. Sekalipun kami ada saingan bisnis tapi mereka tak akan pernah mungkin berniat menjatuhkan kami." Brisa dibuat semakin bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Tentu Brisa tahu Kimberly tak memiliki musuh dalam dunia bisnis, tapi kalau dalam kondisi seperti ini, pasti ada yang sengaja mengacaukan perusahaan. "Kim, apa yang akan kau lakukan?" tanya Carol mulai gelisah. Kimberly tak langsung menjawab apa yang ditanyakan oleh Carol. "Brisa, ambil dana cadanganku untuk perusahaan keluargaku. Meski aku tahu, tidak akan cukup tapi bisa sedikit membantu, lalu kau minta Jennisa untuk pemotretan menjual produk skin care kita dengan harga sale menarik. Diskusikan sale menarik dengan direktur marketing. Hanya cara ini yang bisa mengurangi kerugian." "Tapi bagaimana dengan perusahaan Anda sendiri, Nyonya?" tanya Brisa hati-hati. "Biarkan perusahaanku merugi. Yang penting dana kas masih cukup untuk membayar gaji karyawan." Kimberly menjawab pertanyaan Brisa dengan nada tenang, dan tersirat penuh ketegasan di sana. ***Damian menutup berkas yang dia baca. Pria tampan itu meletakan berkas tersebut ke atas meja, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke layar MacBook-nya. Tiba-tiba di kala Damian tengah serius membaca email, tatapannya langsung teralih ke arah pintu kala mendengar suara lari menerobos masuk ke dalam ruang kerjanya. "Tuan!" seru Freddy panik kala tiba di depan Damian. "Ada apa kau berlari seperti itu, Freddy?" Tatapan mata Damian menatap dingin Freddy. "Tuan, ada masalah besar, Tuan." Freddy gelisah dan begitu takut. "Katakan yang jelas ada apa! Jangan bicara setengah-setengah padaku!" sembur Damian tegas. Freddy menelan salivanya susah payah. "Tuan, perusahaan mendiang ibu Anda mengalami lonjakan turun secara drastis. Tidak hanya perusahaan mendiang ibu Anda saja, tapi juga Davies Group serta perusahaan Nyonya Kimberly. Beberapa menit lalu, saya melihat pasar saham, Davies Group berada di batas merah terendah, Tuan. Sama seperti perusahaan mediang ibu Anda yang juga berada di batas merah terendah." Raut wajah Damian begitu terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Freddy. Kilat matanya berubah menjadi tajam. Aura wajah yang menunjukan kemarahan begitu terlihat jelas. Rahangnya mengetat. Sorot mata pria itu penuh tuntutan. "Jangan main-main dengan ucapanmu, Freddy! Itu tidak mungkin!" bentak Damian kuat. Freddy menundukkan kepala sebentar kala mendapatkan bentakan dari Damian. Detik selanjutnya, dia memberikan ponselnya pada Damian sambil berkata, "Lihatlah, Tuan. Grafik saham perusahaan mediang ibu Anda dan Davies Group benar-benar di bawah batas terendah. Begitu pun dengan perusahaan Nyonya Kimberly." Seketika Damian bungkam melihat grafik saham yang ditunjukan oleh Freddy. Raut wajahnya begitu memucat akibat keterkejutan. Sesuatu hal menelusup ke dalam ingatannya. Napasnya memburu. Tangannya mengepal begitu kuat. "Berengsek! Siapa yang berani melakukan ini semua, Freddy!" geramnya menahan amarah. Freddy terdiam sebentar. "Itu yang ingin saya katakan pada Anda, Tuan." "Apa maksudmu?" Kilat mata tajam Damian, menatap Freddy penuh tuntutan. Freddy mengembuskan napas panjang. "Saya menemukan keterlibatan Faine, asisten pribadi Tuan Deston. Dugaan saya, dalang di balik semua ini adalah ayah Anda sendiri, Tuan." Lagi, Damian dibuat bungkam mendengar semua kata-kata Freddy. Sorot mata Damian layaknya laser yang siap menembak. Kemarahannya menelusup hingga nyaris meledak. Umpatan dan makian lolos dalam hatinya. "Beraninya tua bangka itu menggunakan cara rendah seperti ini!" geramnya dengan penuh emosi. ***"Deston Darrel" teriakan keras Ernest menggema menerobos ruang kerja Deston. Tampak amarah di wajah Ernest telah membakarnya. Tatapan matanya menatap Deston tajam. Sementara Deston yang duduk di kursi kerjanya hanya bersantai dan menyesap wine di tangannya. "Kau sudah melihat hasil kerjaku?" Deston bertanya tenang dan santai. "Bajingan! Apa kau sudah gila, Deston! Kenapa kau membawa-bawa urusan pribadi ke dalam perusahaan!" bentak Ernest keras. Deston meletakan gelas berkaki tinggi di tangannya ke atas meja, dan menatap Ernest tanpa dosa. "Hanya cara ini yang membuat putrimu tersudut, Ernest." "Kau—" Tangan Ernest nyari melayangkan pukulan pada Deston, tapi pria paruh baya itu menahan diri, tak ingin mencari keributan. Sorot matanya memendung emosinya. "Deston, kau akan menyesali apa yang telah kau lakukan. Jika menjatuhkanku membuatmu puas, silakan kau coba, tapi aku bukanlah orang bodoh. Aku tahu bagaimana harus bertahan." Ernest membalikkan badannya, dan melangkah pergi meninggalkan Deston dengan raut wajah yang begitu marah. Terlihat Deston hanya diam menatap punggung Ernest yang mulai lenyap dari pandangannya. Raut wajah Deston tenang seolah tak memiliki dosa sedikit pun. Saat Ernest tiba di rumah sakit, pria paruh baya itu segera menghampiri Maisie. Ernest berusaha untuk tenang walau pikirannya benar-benar sangat kacau. Tak pernah Ernest sangka Deston akan menggunakan cara selicik ini. "Ernest? Apa terjadi sesuatu?" tanya Maisie seraya menatap Ernest yang seperti habis marah. "Maisie, lusa aku akan meminta orangku mengurus perpindahan Gilda ke Sydney. Dan aku minta selama Gilda pindah ke Sydney, lebih baik kau tinggal di Florida. Kau sedang hamil muda. Belakangan ini terlalu banyak masalah. Aku tidak ingin kau stress terbebani dengan masalah," kata Ernest yang tak mau Maisie mendengar masalah-masalahnya. "Ada apa ini, Ernest? Kenapa kau tiba-tiba memintaku pindah ke Florida?" tanya Maisie bingung dan tak mengerti akan permintaan sang suami. "Tidak apa-apa. Aku hanya—" Perkataan Ernest terpotong kala pria paruh baya itu merasakan nyeri luar biasa di bagian dadanya. Dia menyentuh dadanya, meremas kuat. Kakinya mulai melemah dan pandangan pun buram. "Ernest? Ernest kau kenapa?" Maisie segera memeluk lengan suaminya itu. Detik berikutnya, tubuh Ernest tumbang. Maisie berusaha untuk menahan, tapi Maisie tak mampu menahan tubuh sang suami. Tampak Maisie panik melihat Ernest yang jatuh pingsan. "Tolong! Tolong! Tolong!" teriak Maisie meminta tolong. Air matanya mulai berlinang kala melihat bibir Ernest membiru. ***
KAMU SEDANG MEMBACA
Damian & Kimberly
Storie d'amoreSebelum baca cerita ini, follow dulu akun ini dan follow instagram: abigailkusuma8 Warning 21+ (Mature content) *** Pernikahan layaknya princess di negeri dongeng adalah impian Kimberly Davies. Akan tetapi, siapa sangka semua impiannya hancur kala...