Bab 129. Disappointment

59 4 0
                                    

Pelupuk mata Maisie bergerak-gerak menandakan mata hendak terbuka. Sinar lampu pertama kali yang menyorot ditangkap oleh matanya. Mata Maisie mengerjap beberapa kali. Tubuhnya terasa begitu lemah tak berdaya. Kepala Maisie memberat dan sakit mulai menyerang. Beberapa kali Maisie memilih untuk memejamkan mata sebentar demi mengurangi rasa sakit di kepalanya."Nyonya, Anda sudah sadar?" Brisa menatap Maisie dengan tatapan cemas. Malam ini memang Brisa ditugaskan untuk menjaga Maisie. Pasalnya Ernest telah dijaga oleh orang-orang kepercayaan Damian. "Aku di mana?" Maisie mulai mengendarkan pandangannya, menatap ke sekeliling. Tampak raut wajah Maisie berubah kala melihat dirinya berada di ruang rawat. Kepingan memori mulai mengumpul, tapi belum sepenuhnya membuat dirinya mengingat apa yang terjadi. "Nyonya, Anda di rumah sakit," jawab Brisa pelan dan hati-hati. Seketika mata Maisie melebar ketika ingatannya menjadi satu. Wajahnya memucat. Rasa takut menjalar, menelusup ke dalam dirinya. "Brisa, suamikuku baik-baik saja, kan? Katakan kalau suamiku selamat, Brisa." Air matanya mulai berlinang deras. "Nyonya, tenangkan diri Anda. Tuan Ernest selamat. Detak jantungnya kembali," ujar Brisa lembut seraya merengkuh bahu Maisie, menenangkan. "Kau tidak bohong, kan, Brisa?" Mata Maisie memerah, menatap Brisa dengan tatapan penuh harap. Maisie takut kalau Brisa hanya membohonginya. "Tidak, Nyonya. Saya tidak mungkin berbohong. Tuan Ernest selamat. Beliau baik-baik saja, Nyonya," jawab Brisa sopan. Maise lega mendengar sang suami selamat. "Apa aku bisa menemui suamiku sekarang?" pintanya lirih. "Nyonya, dokter meminta Anda untuk lebih banyak beristirahat. Anda sedang hamil. Anda harus memikirkan kondisi kehamilan Anda juga. Besok, Anda bisa menemui Tuan Ernest," jawab Brisa meminta Maisie untuk lebih banyak beristirahat. Maisie terdiam dengan air mata yang mulai mereda. Anggukkan kepalanya terlihat di kala merespon ucapan Brisa. Dalam hati, dia bersyukur mendengar kondisi Ernest baik-baik saja. Sungguh, dia tak tahu bagaimana melanjutkan hidupnya jika tanpa Ernest di sisinya. ***"Mom?" Gilda memanggil dengan nada pelan kala telinganya menangkap ada langkah kaki yang memasuki ruang rawatnya. Mata yang tak bisa melihat, membuat Gilda hanya mengandalkan pendengarannya. "Ini aku." Fargo menatap Gilda lekat. Pria tampan itu sengaja ingin menemui Gilda sekarang. Sejak Gilda sadar, dia belum menjenguk Gilda. Ada alasan khusus. Yang pasti Fargo tak ingin memberikan pengharapan lebih pada Gilda. "F-Fargo? K-kau datang?" Gilda mengulurkan tangannya ke sembarangan arah untuk menggapai Fargo. Refleks, Fargo melangkah maju, meraih tangan Gilda. Pancaran mata Fargo memancarkan rasa iba mendalam pada Gilda. "Bagaimana kabarmu?" Fargo duduk di tepi ranjang, menatap hangat Gilda. "Seperti yang kau lihat. Aku cacat. Aku buruk. Tidak akan ada lagi yang mau menjalin hubungan denganku," ucap Gilda pelan, dan lemah. Nada bicaranya tersirat begitu putus asa. "Kau tetap Gilda yang cantik. Bekas luka di wajahmu bisa hilang. Operasi bedah plastik sudah hebat. Matamu juga pasti akan bisa kembali melihat. Kau hanya butuh waktu untuk menunggu pendonor mata." Fargo berucap penuh kehangatan. "Kita berpisah bukan karena kondisimu, tapi karena aku sadar hubungan kita tidak sehat, Gilda. Jika kita bersatu kita hanya akan menjadi seperti magnet yang tolak menolak. Kau berhak mendapatkan yang terbaik." Gilda tersenyum lirih. "Aku berusaha menerima semuanya walau itu tidak mudah. Setelah ini aku juga akan pindah jauh dari Amerika." "Mulailah hidup baru, Gilda. Aku pun akan memulai hidupku yang baru. Kita pernah melakukan sebuah kesalahan, tapi bukan berarti kita tidak bisa memperbaikinya," ujar Fargo pelan, dan lembut. "Aku akan mencoba walau itu tidaklah mudah," jawab Gilda dengan nada yang menahan kesedihan. "Baiklah. Aku harus pergi. Jaga dirimu baik-baik. Jika suatu saat nanti kita bertemu lagi, aku harap kau sudah bahagia. Lupakan semua masa lalu. Kita pernah saling mencintai, jadi aku tidak akan pernah membencimu. Aku ingin berpisah baik-baik denganmu," ucap Fargo penuh ketulusan. Gilda hanya menganggukkan kepalanya dan memberikan senyuman menahan kesedihan. Detik selanjutnya, Fargo melangkah pergi meninggalkan ruang rawat Gilda. Sebelum pergi, pria tampan itu meminta dua perawat untuk menjaga Gilda. "Tun Fargo," sapa Gene kala Fargo baru saja keluar dari ruang rawat Gilda. "Apa kau sudah menyiapkan tiket pesawat untuk keberangakatanku ke Amsterdam?" tanya Fargo seraya menatap dingin Gene. Ya, Fargo telah memutuskan untuk menenangkan diri di Amsterdam. Entah sampai kapan dirinya akan meninggalkan Amerika. Saat ini kondisi perusahaan Fargo mulai sedikit membaik pasca perceraiannya dengan Kimberly. Meski belum sepenuhnya pulih, tapi paling tidak, sudah dalam zona aman tak sekacau sebelumnya. "Maaf, Tuan, tapi apa Anda tidak melihat berita pagi ini?" tanya Gene hati-hati."Berita apa maksudmu?" Sebelah alis Fargo terangkat, menatap Gene. Gene terdiam sejenak. "Davies Group dan perusahaan Nyonya Kimberly mengalami penurunan saham secara drastis, Tuan. Tuan Ernest Davies sampai terkena serangan jantung akibat masalah ini." Mata Fargo melebar akibat keterkejutannya. "Kau jangan main-main, Gene! Bicara yang benar!" Dia yakin apa yang dia dengar ini salah. Pasalnya perusahaan keluarga Kimberly adalah salah satu perusahaan ternama di Amerika. "Tuan, saya tidak mungkin main-main dalam hal ini. Davies Group dan perusahaan pribadi Nyonya Kimberly mengalami penurunan saham cukup drastis akibat Tuan Deston, kakek Anda," ujar Gene yang seketika itu juga membuat sorot mata Fargo berubah tajam. "Grandpa Deston? Maksudmu apa, Gene?" tanya Fargo dengan tatapan penuh tuntutan pada sang asisten. "Sepertinya Tuan Deston sengaja menjatuhkan Davies Group dan perusahaan pribadi Nyonya Kimberly agar Nyonya Kimberly menyerah akan hubungannya dengan Tuan Damian, Tuan. Saya tidak tahu apa alasan kuat Tuan Deston kenapa Tuan Deston tidak menyukai Nyonya Kimberly. Yang saya tahu selama ini Tuan Deston sangat menyayangi Nyonya Kimberly, tapi dugaan saya, mungkin rasa sayang Tuan Deston pada Nyonya Kimberly tetap tidak bisa mengizinkan hubungan Nyonya Kimberly dengan Tuan Damian. Seperti Anda tahu, Tuan, jika sampai Tuan Damian menikah dengan Nyonya Kimberly, ini memang cukup mencoreng nama baik keluarga. Terlebih status Nyonya Kimberly adalah mantan istri Anda," jawab Gene melaporkan dengan nada yang begitu serius. Fargo terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh Gene. Sepasang iris matanya berubah menjadi tajam dan memendung amarah. Tak Fargo sangka kalau kakeknya akan melakukan hal seperti ini hanya demi sebuah nama baik. Detik selanjutnya, dia melangkah pergi meninggalkan tempat itu tanpa mengatakan sepatah kata pun. Aura wajahnya menunjukkan jelas kemarahannya. ***"Tuan Fargo?" Pelayan sedikit terkejut melihat Fargo datang di malam hari seperti ini. Pun selama ini Fargo sangat jarang datang. Bisa dikatakan kalau hanya diminta atau ada acara tertentu baru Fargo akan datang ke rumah. "Di mana Grandpa Deston?" tanya Fargo tanpa basa-basi. Tujuannya berada di kediaman keluarga Darrel karena memang ingin bertemu dengan Deston. Fargo tak mau menunda-nunda. Dia harus segera berbicara pada Deston. "Hm, Tuan Deston ada di ruang kerjanya, Tuan, tapi ini sudah malam. Lebih baik Anda—" "Aku harus menemuinya sekarang." Fargo langsung memotong ucapan sang pelayan. Dia melangkah pergi meninggalkan pelayan itu, menuju ruang kerja Deston. Sang pelayan tampak panik kala Fargo menuju ruang kerja Deston. Pelayan itu hendak mengejar menghentikan Fargo, tapi pelayan itu pun tak berani menghentikan Fargo. "Grandpa." Fargo menerobos masuk ke dalam ruang kerja Deston tanpa mengetuk pintu lebih dulu. Sorot mata Fargo menangkap tegas Deston yang duduk di kursi kerjanya. Terlihat Deston tak terkejut sama sekali melihat kedatangan Fargo. Pria paruh baya itu tetap duduk tenang di tempatnya seraya menyesap whisky di tangannya. "Kau ke sini karena ingin membahas Kimberly?" Deston menduga apa yang akan Fargo bahas padanya. Pasalnya tak mungkin Fargo datang di malam hari seperti ini, jika tak ada hal penting yang ingin Fargo katakan padanya. Fargo mengatur napasnya demi meredam emosinya. Tatapan matanya begitu dingin menatap Deston. "Kenapa kau melukai Kimberly, Grandpa? Jika kau menyayanginya, harusnya kau tidak akan sampai setega ini. Aku benar-benar kecewa padamu." Deston mengembuskan napas panjang mendengar apa yang dikatakan oleh Fargo. Pria paruh baya itu meletakan gelas sloki di tangannya ke atas meja, seraya menatap cucunya itu dengan tatapan penuh ketegasan. "Kau tidak tahu apa pun, Fargo. Lebih baik kau tidak usah ikut campur." "Tidak ikut campur? Bagaimana aku tidak ikut campur kalau kau masih menyangkut pautkan masa laluku dan Kimberly! Bukankah kau jelas tahu hubunganku dan Kimberly hanya hubungan di selembar kertas saja?! Kenapa kau mempersulit Kimberly, Grandpa?! Kau juga tahu selama ini hidup Kimberly sudah menderita ketika bersama denganku. Sekarang kau masih membuat semakin kacau! Di mana hatimu, Grandpa?!" seru Fargo dengan nada tinggi. "Aku memiliki hak untuk menentukan siapa istri yang tepat untuk putraku. Jadi ini bukan urusanmu, Fargo," tukas Deston menegaskan. Fargo tersenyum penuh kekecewaan pada Deston. "You're right. Kau memiliki hak untuk memberikan restumu atau tidak pada hubungan Kimberly dan Paman Damian, tapi kau harus ingat, Paman Damian dan Kimberly adalah pasangan yang saling mencintai. Mereka juga akan segera memiliki anak. Dari segala aspek, harusnya kau tidak menolak Kimberly. Kimberly memiliki banyak hal yang diidamkan pria. Aku sangat tahu, kau menolak Kimberly karena status Kimberly pernah menjadi istriku. Jangan salahkan Kimberly atas statusnya. Di dunia ini pasti tidak ada yang mau menyandang status janda. Aku yang bersalah. Aku yang mengabaikannya. Aku yang berselingkuh darinya! Jika kau ingin menghukum, silakan hukum aku! Bukan Kimberly!" jawabnya dengan nada yang keras, lantang, dan kuat. Deston hanya diam kala mendengar ucapan Fargo. Pria paruh baya itu tak mengatakan sepatah kata pun. Hanya saja tatapan tegas Deston tak henti menatap mata Fargo yang menyalang tajam padanya. Tatapan yang terselimuti sebuah kemarahan tertahan. "Aku harap kau pikirkan ini baik-baik. Sebagai ayah kau pasti menginginkan yang terbaik untuk anakmu, tapi jangan gunakan ego-mu hanya demi keinginanmu. Suatu saat kau akan menyesali semua tindakanmu. Sifatmu yang seperti ini, hanya akan membuat putramu dan bahkan cucu kandungmu membencimu sendiri. Jika anak Kimberly lahir, aku yakin dia akan membenci kakeknya yang telah memisahkan kedua orang tuanya hanya karena alasan tak masuk akal sehat." Fargo berkata tegas dan tersirat memperingati. Lantas, dia membalikkan badannya, melangkah pergi meninggalkan ruang kerja Deston.Deston masih diam seribu bahasa kala Fargo sudah pergi. Sepasang iris mata cokelat gelap Deston menunjukkan ribuan arti yang tak bisa terungkap di sana. Kata-kata Fargo saat ini terus terngiang di dalam benaknya.

Damian & KimberlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang