Bab 117. The Right Man

60 4 0
                                    

Sayup-sayup mata Maisie mulai terbuka. Cahaya putih yang menyorot menangkap ke matanya. Tepat di kala mata Maisie sudah terbuka, tatapannya teralih pada Ernest yang begitu setia duduk di tepi ranjang, menunggu dirinya. Detik itu juga ingatannya langsung mengingat dirinya dirawat di rumah sakit."Kau sudah bangun? Apa kau ingin makan sesuatu?" tanya Ernest menawarkan seraya membelai pipi Maisie lembut. Tatapan pria paruh baya itu menatap hangat sang istri—yang begitu pucat. Beruntung dokter mengatakan kandungan Maisie baik-baik saja. Walau cukup lemah, tapi selama ini sang istri selalu rajin mengonsumsi obat penguat kandungan. Itu yang sangat membantu, ketika istrinya dalam keadaan benar-benar drop. "Aku belum lapar. Nanti saja aku makan. Apa Gilda sudah siuman?" Fokus Maisie hanya pada putrinya. "Belum. Gilda belum siuman." Ernest membelai lembut pipi Maisie. "Lalu bagaimana dengan Kimberly?" Lepas dari rasa khawatir pada Gilda, tentu saja Maisie tetap merasa bersalah pada Kimberly. Bagaimanapun, semua ini bisa terjadi karena Gilda. Ernest mengembuskan napas panjang. "Kondisi Kimberly baik. Tadi malam aku sudah menjenguk Kimberly, tapi dia sudah tidur. Dia juga dijaga Damian. Jadi, aku memutuskan untuk melihat Kimberly sebentar."Maisie terdiam sejenak. "Aku senang mendengar kondisi Kimberly baik-baik saja. Aku ingin menemui Kimberly, Ernest. Aku ingin minta maaf padanya atas apa yang telah dilakukan Gilda. Aku gagal mendidik putriku sampai jadi seperti ini. Aku harus segera meminta maaf pada Kimberly." "Jangan sekarang, Maisie. Kondisi masih memanas. Biarkan aku yang bicara pada putriku. Termasuk tentang apa yang ingin putriku lakukan. Maisie, aku tahu Gilda adalah putri yang sangat kau sayangi, tapi Kimberly juga putri yang sangat aku sayangi. Aku harus bersikap adil. Bagaimanapun Gilda harus menjalani proses hukum yang berlaku. Apa yang dilakukan Gilda sudah masuk dalam tindak kriminal. Aku akan menyerahkan semuanya pada Kimberly. Aku harap kau mengerti posisiku adalah ayah dari korban yang telah dilukai oleh putrimu," ucap Ernest tegas, tapi penuh kehangatan. Maise kembali terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh Ernest. Dia sama sekali tak menyalahkan Ernest. Sebab, apa yang telah dilakukan Gilda sangat jahat. Yang bisa Maisie harapkan saat ini, Kimberly memiliki sedikit rasa iba pada kondisi Gilda. Sungguh, dia tak tega kalau putrinya harus di penjara dalam keadaan keterbatasan fisik. Pun dia menyadari tak bisa memaksa. Yang dia bisa lakukan hanya pasrah dengan apa yang diputuskan oleh Kimberly. ***Kimberly memakan buah apel yang diberikan oleh sang pelayan padanya, lalu membuang sampah ke tempat yang sudah disediakan. Masih tinggal di rumah sakit membuatnya benar-benar jenuh, tapi Kimberly tak memiliki pilihan lain. Pasalnya, dirinya belum diperbolahkan pulang. Meski dia dan juga kandungannya sudah merasa sehat, tetap saja tak bisa pulang jika belum mendapatkan izin. "Nyonya, apa Anda ingin makan sesuatu?" tawar sang pelayan sopan pada Kimberly. "Tidak. Aku tidak mau makan apa pun. Aku sudah kenyang. Kau boleh pergi sekarang. Terima kasih," jawab Kimberly hangat. "Baik, Nyonya. Kalau begitu saya permisi." Pelayan menundukkan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Kimberly. Namun, di kala pelayan hendak meninggalkan ruang rawat, langkah pelayan itu terhenti kala berpapasan dengan Damian—yang baru saja masuk ke dalam ruang rawat Kimberly. Buru-buru, pelayan itu menundukkan kepalanya, menyapa Damian penuh sopan. Saat Damian sudah mengangguk singkat membalas sapaannya, pelayan itu segera melanjutkan lagi langkahnya. "Damian? Kau sudah selesai?" Kimberly menatap Damian dengan tatapan hangat. "Sudah." Damian duduk di tepi ranjang sambil membelai pipi Kimberly lembut. Tadi di depan, dia bertemu dengan sang sekretaris yang ingin meminta tanda tangannya. Hal itu yang membuatnya meninggalkan Kimberly di ruang rawat sebentar. "Damian, aku bosan. Kapan dokter memperbolehkanku pulang?" Kimberly menyandarkan kepalanya di dada bidang Damian. "Sabar, Kim. Kau masih belum bisa pulang sekarang." Damian membelai punggung Kimberly. Kimberly menghela napas dalam. "Aku sudah sehat, Damian. Kandunganku juga sehat, tapi kenapa dokter masih menahanku untuk pulang?" Damian menangkup kedua pipi Kimberly, mengecupi bibir sang kekasih dengan lembut. "Biarkan kondisimu sampai benar-benar pulih dulu. Kau jatuh dari tebing, Kim. Aku tidak tenang jika kau langsung pulang. Paling tidak, tunggu sampai dokter memperbolehkanmu pulang." Kimberly mendesah panjang. Terpaksa, dia menuruti ucapan Damian. Membujuk kekasihnya itu adalah hal yang tak mungkin. Terlebih dalam hal seperti ini. Namun, dalam hati dia berharap semoga dokter bisa cepat memperbolehkannya pulang. Suara ketukan pintu terdengar. Refleks, Kimberly dan Damian mengalihkan pandangan mereka pada sumber suara itu. Pun Damian segera meminta orang yang mengetuk pintu untuk masuk ke dalam. "Tuan." Freddy melangkah masuk ke dalam ruang rawat Kimberly, mendekat pada Damian dan Kimberly. "Ada apa?" tanya Damian dingin. "Tuan di depan ada Nona Keiza. Apa boleh saya mempersilakannya masuk?" tanya Freddy meminta izin. "Keiza datang?" Kening Kimberly mengerut, tatapannya menatap bingung sekaligus terkejut. Pasalnya, dia tak menyangka Keiza akan datang ke rumah sakit. "Lima menit lagi, kau bisa mempersilakannya masuk," balas Damian datar."Baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi, Tuan, Nyonya." Freddy menundukkan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Damian dan Kimberly. "Damian, kenapa bisa ada Keiza di sini?" tanya Kimberly yang tak mengerti. Damian menatap dalam mata hazel Kimberly yang menunjukkan jelas keterkejutan. Dia memang belum bercerita pada Kimberly kalau Keiza akan datang. "Dia ingin berpamitan pada kita, Kim. Dia akan kembali ke negara tempat di mana dia tinggal. Kau tidak apa-apa kan kalau dia ke sini?" Kimberly terdiam mendengar ucapan Damian. Tak dia sangk, Keiza datang ke sini karena ingin berpamitan padanya dan Damian. Jauh dari dalam lubuk hatinya terdalam, dia cemburu, tapi di sisi lainnya, dia tak ingin jahat pada orang lain. "Tidak apa-apa, Damian. Kau boleh mempersilakannya masuk," jawab Kimberly pelan. Damian mengecup kening Kimberly merespon ucapan sang kekasih. Tak lama kemudian, Keiza melangkah masuk ke dalam ruang rawat Kimberly. Terlihat jelas raut wajah Kimberly tetap tenang, tapi tatapannya tak lepas menatap Keiza. "Hi," sapa Keiza pada Damian dan Kimberly pelan. "Hi, Keiza," jawab Kimberly. Sementara Damian hanya memberikan tatapan dingin, menunggu Keiza mengucapkan hal lain selain sebuah sapaan. "Kim, bagaimana kabarmu?" tanya Keiza pelan. "Kondisiku sudah jauh lebih baik. Kau sendiri bagaimana?" Kimberly balik bertanya. "Aku juga baik, Kim," balas Keiza seraya menatap Damian. "Bagaimana kabarmu, Damian?" "Aku baik," jawab Damian dingin, dan datar. Keiza mengatur napasnya, meneguhkan dalam hati bahwa keputusan yang dia pilih adalah keputusan yang paling tepat. "Aku ke sini karena ingin berpamitan pada kalian. Aku akan kembali ke Athena. Maaf karena aku telah mengganggu hidup kalian.""Kenapa pada akhirnya kau memilih kembali ke Athena?" tanya Kimberly ingin tahu. Keiza tersenyum seraya menatap Kimberly. "Aku memang sudah seharusnya kembali ke Athena. Tujuan utamaku ke sini, karena aku berharap akan kembali pada Damian, tapi kenyataan yang aku dapatkan, Damian telah melupakanku. Dia sekarang telah mencintaimu, Kim."Kimberly membalas tatapan mata Keiza mencari ketulusan di sana. Kali ini dia tak melihat sedikit pun kepura-puraan di mata Keiza. Yang dia lihat hanya patah hati, tetapi tetap menunjukkan sebuah ketulusan. "Suatu saat, kau akan menemukan pria yang mencintaimu, Keiza. Percayalah pada takdir. Ikuti ke mana takdir membawamu. Aku yakin, kau akan mendapatkan pria yang mencintaimu di waktu dan cara yang tepat." Mata Keiza berkaca-kaca. Tak sanggup menahan air mata. "Bolehkah aku memeluk Damian untuk yang terakhir, Kim?" pintanya pada Kimberly. Kimberly terdiam sebentar. Ada keraguan dalam hatinya, tapi entah kenapa hatinya berkata untuk mengizinkan Keiza memeluk Damian. "Ya, Keiza. Kau bisa memeluk Damian. Aku mengizinkanmu." Damian yang sudah mendapatkan izin langsung bangkit berdiri dan memeluk Keiza. Pun Keiza memeluk erat Damian dengan isak tangis yang cukup keras. "Aku tidak pernah membencimu, Keiza." Damian mengusap punggung Keiza lembut dan hangat. "Hiduplah dengan baik. Kau akan menemukan pria yang tepat di hidupmu." Pria tampan itu menyeka air mata Keiza. Di dalam lubuk hatinya terdalam, dia hanya iba pada Keiza, bukan karena masih mencintai mantan kekasihnya itu. "Terima kasih, Damian. Semoga kau dan Kimberly selalu hidup bahagia." Keiza memberikan senyuman yang dia paksa lukiskan di balik tangisnya. "Selamat jalan, Keiza. Sampai bertemu di kemungkinan yang baik," balas Kimberly—dan Damian memberikan senyuman tulus pada sang mantan kekasih. Keiza tersenyum hangat di balik matanya yang sembab, dia segera melangkah pergi meninggalkan ruang rawat Kimberly. Hatinya merasakan sesak, tapi paling tidak dia sudah lega. "Damian, harusnya aku cemburu melihatmu berpelukan dengan Keiza, tapi tadi aku melihatmu memeluk Keiza, membuatku sangat bersyukur," ucap Kimberly pelan kala Keiza sudah pergi. Sorot matanya tak lepas menatap bayang-bayang punggung Keiza yang nyaris lenyap. "Kenapa kau bersyukur?" Damian menoleh, menatap Kimberly, menunggu jawaban sang kekasih. "Aku bersyukur, karena aku telah memiliki pria yang tepat di hidupku." Kimberly menatap Damian penuh dengan cinta dan kasih sayang. Damian tersenyum. Pria itu menangkup kedua pipi Kimberly, mengecup bibir sang kekasih singkat. "Aku juga bersyukur telah memiliki wanita yang tepat di hidupku." Dia melumat lembut bibir Kimberly. Pun tentu Kimberly membalas ciuman Damian. Mereka berciuman dengan penuh kelembutan. Ciuman itu sampai membuat mereka tak menyadari sejak tadi ada yang mengawasi mereka—dengan tatapan dingin dan tajam. ***

Damian & KimberlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang