Bab 121. Executing the Plan

46 4 0
                                    

Damian menarik selimut Kimberly, merapatkan selimut itu ke tubuh sang kekasih. Pria tampan itu mengecup kening kekasihnya itu seraya memberikan tatapan hangat pada sang kekasih. Beruntung malam ini Kimberly tidur lebih awal. Paling tidak, dia sudah tenang Kimberly tidur lebih awal. Dia akan bisa kembali memeriksa pekerjaan tanpa harus memikirkan Kimberly yang menunggunya istirahat.Damian membenarkan posisi berdiri, pria tampan itu mengambil ponselnya yang ada di atas meja, lalu hendak menuju sofa yang ada di ruang rawat VVIP Kimberly. Namun, langkah Damian terhenti kala melihat kenop pintu terputar. Tatapan Damian menatap lekat ke arah pintu, memastikan siapa yang datang di malam hari seperti ini, dan ketika pintu sudah terbuka. Sepasang iris mata cokelat gelap Damian menatap Fargo yang berdiri di ambang pintu dengan tatapan lekat. "Ada apa kau ke sini malam-malam seperti ini, Fargo?" tanya Damian dingin dengan sorot mata tegas. "Maaf aku mengganggumu. Ada yang ingin aku bicarakan padamu, Paman," jawab Fargo datar. Damian terdiam sebentar mendengar ucapan Fargo. Pria tampan itu melirik sebentar Kimberly yang masih tidur pulas. Lantas, dia kembali menatap Fargo seraya berkata, "Kita bicara di luar. Kimberly sudah tidur. Aku tidak mau mengganggu tidur Kimberly." Fargo menganggukkan kepalanya merespon ucapan Damian. Lantas, dia segera lebih dulu meninggalkan tempat itu, disusul pamannya yang juga ikut keluar dari ruang rawat Kimberly. "Apa yang ingin kau bicarakan padaku?" tanya Damian dingin kala dirinya, dan Fargo sudah tiba di depan ruang rawat Kimberly."Aku dengar dari asistenku, besok Kimberly sudah diperbolehkan untuk pulang. Apa itu benar?" tanya Fargo memastikan. "Ya, besok Kimberly sudah boleh pulang. Kondisinya sudah membaik," jawab Damian memberi tahu. Fargo menganggukkan kepalanya. "Lusa adalah sidang perceraianku dengan Kimberly. Aku sudah mendapatkan jadwalnya tadi. Aku pun sudah mengatakan pada pihak pengadilan tidak perlu ada mediasi, karena aku dan Kimberly sepakat untuk berpisah." Damian terdiam sejenak. "Bagaimana perasaanmu?" "Hancur, sedih, tapi juga bahagia karena aku yakin kau akan menjaga Kimberly dengan baik," jawab Fargo lugas tanpa ragu. Damian tersenyum samar. "Tentu saja aku akan menjaga Kimberly dengan baik. Dia adalah wanita yang aku inginkan dan aku cintai." Pria tampan itu menjeda, menepuk bahu Fargo seraya berkata, "Kelak, di waktu dan cara yang tepat kau akan mengerti perasaan cintaku pada Kimberly. Kau akan menemukan wanita belahan jiwamu sesungguhnya." Fargo mengangguk. "Thanks atas nasihatmu, Paman. Aku akan selalu mengingatnya. Baiklah, kalau begitu aku harus pulang sekarang. Ini sudah malam. Salamkan aku untuk Kimberly." "Akan aku sampaikan," jawab Damian datar, lalu Fargo melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. Namun di kala Fargo pergi, langkah kakinya terhenti kala berpapasan dengan Freddy. Asisten pribadi Damian itu menundukkan kepalanya sopan menyapa Fargo. Pun Fargo membalas sapaan Freddy dengan anggukkan singkat di kepalanya. Detik berikutnya, Fargo kembali melanjutkan langkahnya pergi meninggalkan tempat itu. "Tuan." Freddy menyapa seraya menundukkan kepalanya. "Ada apa, Freddy?" Damian menatap lekat Freddy. "Tuan, saya ke sini karena ingin memberitahu Anda kalau Nona Gilda Olaf sudah siuman," jawab Freddy melaporkan. "Bagaimana kondisinya?" "Nona Gilda Olaf sekarang sudah lebih tenang. Kemarin ketika beliau tahu penglihatannya menghilang, beliau sempat berteriak-teriak, tapi, sekarang kondisi sudah mulai stabil karena Nyonya Maisie meyakinkan Nona Gilda akan segera mendapatkan donor mata." Damian mengembuskan napas panjang. "Kau boleh pergi sekarang." "Baik, Tuan. Saya permisi." Freddy menundukkan kepalanya, lalu pamit undur diri dari Damian. Damian menatap lurus ke depan. Sesuatu hal muncul dalam benaknya. Hal di mana dirinya memikirkan langkah setelah Kimberly dan Fargo resmi bercerai. Mengingat Kimberly sedang hamil muda, membuatnya tak mau menunda-nunda lagi. ***Saat pagi menyapa, para pelayan sibuk mondar-mandir membawa barang-barang yang ada di ruang rawat Kimberly ke dalam mobil. Hari ini adalah hari yang Kimberly nanti-nantikan. Hari di mana dia akan pulang dari rumah sakit. "Sayang, hari ini apa kau akan ke kantor?" tanya Kimberly seraya menatap Damian. "Tidak, aku tidak akan ke kantor, Kim. Besok baru aku ke kantor." Damian mengecup kening Kimberly. "Ya sudah kalau begitu kita pulang sekarang. Aku ingin kita segera pulang, Damian. Aku sudah tidak sabar tidur di kamar kita." Kimberly memeluk lengan sang kekasih. "Kim, ada yang ingin aku katakan padamu," ucap Damian pelan, tapi tersirat serius. "Kau ingin mengatakan apa, Damian?" Kening Kimberly mengerut dalam, tatapannya menatap hangat kekasihnya itu. "Tadi malam Fargo datang. Jadwal sidang perceraianmu besok," jawab Damian menyampaikan apa yang dikatakan oleh Fargo. Kimberly menganggukkan kepalanya. "Aku senang mendengarnya. Aku sudah menantikan perceraianku dengan Fargo sejak lama." "Aku juga sudah menantikanmu bercerai dari Fargo sejak lama." Damian membelai pipi Kimberly. "Kim, Gilda sudah siuman, tapi lebih baik kau menemui Gilda setelah sidang perceraianmu saja. Tidak usah sekarang." "Gilda sudah siuman?" Raut wajah Kimberly berubah. "Ya, Gilda sudah siuman. Tadi malam Freddy yang bilang padaku," balas Damian seraya memberikan kecupan di kening Kimberly. Kimberly terdiam beberapa saat. "Antarkan aku sekarang bertemu dengan Gilda, Damian. Aku tidak mau menunda-nunda." "Kim, kau baru sembuh. Nanti saja bertemu dengan Gilda. Kau masih memiliki banyak waktu," kata Damian yang tak setuju dengan ucapan Kimberly. "Aku tidak mau menunda, Damian. Please antarkan aku bertemu dengan Gilda," pinta Kimberly memohon agar Damian mau mengantarkannya bertemu dengan Gilda. Damian tampak ingin menolak akan apa yang diinginkan oleh Kimberly, tetapi dia tak bisa melarang karena dia mengerti Kimberly ingin segera menyelesaikan masalahnya dengan Gilda. "Baiklah, kita akan ke ruang rawat Gilda." Damian terus membelai pipi Kimberly hangat. "Terima kasih, Sayang." Kimberly tersenyum kala Damian mengizinkannya. Damian menggendong Kimberly gaya bridal, memindahkan tubuh Kimberly duduk di kursi roda. Lantas, pria tampan itu mendorong kursi roda Kimberly—menuju ruang rawat Gilda. ***"Kim?" Ernest dan Maisie terkejut melihat Kimberly datang bersama Damian—memasuki ruang rawat Gilda. Terlihat mata Maisie berkaca-kaca melihat Kimberly. Selama ini Masie dilarang Ernest menemui Kimberly. Maisie mendekat pada Kimberly, dan langsung memeluk erat tubuh Kimberly. Isak tangisnya terdengar kala sudah memeluk Kimberly. Sementara Kimberly hanya diam kala Maisie memeluknya. Kimberly tak menolak, dan tak juga menyambut pelukan Maisie. "Aku senang melihatmu sudah pulih, Kim." Maisie mengurai pelukannya, menatap Kimberly hangat. Kimberly hanya memberikan senyuman singkat pada Maisie. "Daddy senang kau sudah pulih, Kim." Ernest memberikan kecupan di puncak kepala Kimberly. "Terima kasih," jawab Kimberly datar. Detik selanjutnya, dia menatap Gilda yang duduk di ranjang dan tak mengeluarkan sepatah kata pun. Dia yakin Gilda pasti ingat suaranya. Meski tak bisa melihat, tapi Gilda pasti tahu dirinya datang. Kimberly mendekatkan kursi rodanya ke arah Gilda. Damian yang sejak tadi setia menemani terus berada di belakangnya. Tampak mata Kimberly menatap lekat kondisi Gilda saat ini. Wajah Gilda masih penuh dengan luka dan mata yang masih tertutup dengan perban. "Aku tidak tahu harus senang atau iba pada kondisimu, Gilda. Di sisi lain, aku merasa bersyukur, karena aku selamat meski kau harus mengalami luka seperti ini, tapi di sisi lainnya lagi, sebagai seorang manusia, aku juga memiliki rasa empati padamu," ucap Kimberly dingin. "Aku yakin kau bahagia atas penderitaanku." Gilda menjawab dengan suara yang tenang meski tersirat tak ramah. "Aku mengakui itu. Munafik kalau aku bilang aku tidak senang. Kalau aku yang berada di posisimu pasti kau akan menertawakanku." Kimberly tersenyum samar. "Tapi sejahatnya diriku, tetap aku masih memiliki sisi kasihan pada sesama manusia. Tidak sepertimu." Ernest dan Maisie terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh Kmberly. Maisie tampak ingin mengeluarkan suara, tapi Ernest langsung mencegahnya. Ernest ingin membiarkan Kimberly yang mengambil keputusan tanpa ada yang mempengaruhi. "Apa tujuanmu ke sini?" Gilda kembali bersuara dingin. "Tujuanku ke sini hanya ingin mengambil keputusan." Kimberly menjeda sebentar, menatap Ernest dan Maisie bergantian. Dia mengatur napasnya, dan kembali menatap Gilda. "Harusnya aku menjebloskanmu ke dalam penjara. Kau pasti tahu aku memiliki sifat yang tidak pandang bulu. Meski kau kehilangan penglihatan pun aku tetap tidak peduli, tapi sayangnya keputusanku bukan ingin menjeboloskanmu ke dalam penjara. Keputusanku adalah aku ingin kau meninggalkan Amerika. Kau pergi sejauh mungkin. Jangan pernah muncul ke sini lagi. Aku tidak mau kau tinggal di kota yang sama denganku. Kelak jika aku tahu kau tetap memiliki niat jahat padaku, aku akan pastikan kau membusuk di penjara. Ingat, Gilda pada akhirnya kejahatan akan tetap selalu kalah."Gilda bungkam mendengar apa yang Kimberly katakan. Raut wajahnya menunjukkan tak menyangka dengan apa yang Kimberly putuskan. Begitu pun Ernest dengan Maisie yang dibuat terkejut dengan keputusan Kimberly. Sementara Damian tetap tenang, tak ikut campur akan apa yang telah Kimberly putuskan. Namun, tentunya Damian sangat bangga akan keputusan yang dibuat oleh Kimberly. ***"Dad, apa kau menyetujui hubungan Damian dan Kimberly?" Fidelya berseru pada Deston. Wanita paruh baya itu mendatangi ayah tirinya secara pribadi. Sudah sejak lama, Fidelya menahan diri, kali ini dia tak bisa lagi menahan diri. Hal tergila dalam hidup Fidelya adalah menantunya menjadi adik iparnya sendiri. "Apa aku pernah mengatakan aku menyetujui hubungan Damian dan Kimberly?" Deston membalikkan ucapan Fidelya. Tatapannya menatap dingin anak tirinya itu. Fidelya mengembuskan napas panjang seraya memejamkan mata singkat. "Dad, tolong lakukan sesuatu. Apa kata keluarga kita kalau Damian menikahi mantan istri Fargo? Ini benar-benar konyol, Dad. Aku mohon segera lakukan sesuatu. Jangan buat masalah ini berlarut-larut, Dad. Hanya kau yang bisa menghentikan kegilaan ini." Fidelya sangat tahu melawan Damian adalah tak mungkin. Yang satu-satunya mampu melawan Damian hanya Deston. Fidelya bukan tak suka pada Kimberly, tapi dia tak mau sampai menjadi bahan omongan publik. Cukup Fargo yang membuatnya malu. Dia tak mau malu lagi akibat Kimberly. "Keluarlah. Aku tahu apa yang harus aku lakukan, Fidelya. Ini sudah malam. Kau harus istirahat," ucap Deston meminta Fidelya untuk pergi. Meski hanya anak tiri, tapi Deston menyayangi Fidelya layaknya putri kandungnya sendiri. Fidelya menganggukkan kepalanya pasrah, lalu melangkah pergi meninggalkan ruang kerja Deston. Tepat di saat Fidelya sudah pergi, Deston mengambil ponselnya, menghubungi nomor seseorang yang ada di kontak ponselnya. "Lakukan apa yang aku perintahkan di hari setelah Fargo dan Kimberly bercerai. Jangan lagi menunda. Aku tidak mau putraku lebih dulu tahu tentang rencanaku," titah Deston tegas kala panggilan terhubung. ***

Damian & KimberlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang