"Damian, bagaimana ini kenapa kau malah menunda-nunda project kita di Paris? Harusnya bulan ini kau sudah berangkat ke Paris, Damian." Deston menatap dingin, dan tajam putranya yang duduk di hadapannya.Damian tetap diam, dan tenang seraya menatap laporan yang ada di tangannya. Tiba-tiba saja hati dan pikiran pria itu menjadi seperti resah akan sesuatu. Entah, dia merasa ada hal yang telah terjadi. Dia tidak tahu hal apa yang membuat hati dan pikirannya menjadi tak tenang."Damian! Kau ini mendengar pertanyaanku atau tidak!" sembur Desto kesal kala putranya malah tak menjawab pertanyaannya. "Sorry, apa yang kau tanyakan, Dad?" Damian membuyarkan lamunannya ketika mendapatkan bentakan dari sang ayah. Deston berdecak pelan. "Apa yang kau pikirkan, Damian?! Kenapa kau malah melamun di saat kita sedang membahas pekerjaan!" Damian berdeham sebentar. "Maaf, tadi aku memikirkan beberapa pekerjaan yang harus aku lakukan besok," ucapnya berdusta. Dia sendiri tak mengerti apa yang dia pikiran. Yang dia rasakan saat ini, perasaannya merasa tak nyaman seperti terjadi sesuatu. Padahal sejak tadi di kala dirinya meeting bersama dengan rekan bisnisnya, semua baik-baik saja. Deston menatap dingin putranya. "Kenapa kau menunda-nunda project kita di Paris? Harusnya bulan ini kau juga harus berangkat ke Paris, Damian!"Damian meletakan laporan yang ada di tangannya ke atas meja. Tatapannya teralih pada sang ayah. "Aku menunda project di Paris karena masih ada beberapa hal yang membuatku ragu. Mungkin bulan depan aku akan ke Paris. Bulan ini aku tidak bisa, Dad." Sejak bulan lalu, Damian menahan-nahan keberangkatannya ke Paris. Alasan kuat dia menunda, karena dirinya berat meninggalkan Kimberly. Ditambah sekarang kasus perselingkuhan Fargo dan Gilda telah terungkap. Pun sekarang Kimberly tengah mengurus perceraian dengan Fargo. "Damian, project di Paris sangat penting. Jangan sampai kau tunda terlalu lama," tegas Deston mengingatkan putranya. "Kau tenang saja. Aku tahu apa yang harus aku lakukan," balas Damian datar, menyakinkan sang ayah. Deston hendak ingin mengomel, tapi dia mengenal baik putranya yang selalu bertanggung jawab atas pekerjaan. Akhirnya, pria paruh baya itu memilih untuk menganggukkan kepalanya merespon ucapan putranya itu. "Baiklah, Damian, ada yang ingin aku tanyakan padamu," ucap Deston serius. "Ada apa, Dad?" tanya Damian datar. "Pagi ini aku melihat perusahaan baru Fargo mengalami penurunan di pasar saham. Berita perselingkuhan Fargo dan Gilda telah tersebar luas. Apa kau akan membantu Fargo dalam memulihkan kondisi perusahaannya?" Deston bertanya seraya menatap lekat Damian. Berita di media tentang skandal Fargo dan Gilda sudah terdengar di telinga Deston. Tak hanya itu saja, tapi dia juga telah mendengar penurunan saham perusahaan pribadi milik Fargo. Hanya saja, dia belum melakukan tindakan apa pun. Dia sengaja mengajak Damian berunding mengenai masalah yang menimpa Fargo. Damian mengambil wine yang ada di hadapannya, menyesap wine itu perlahan, dan berusaha mengusir segala pikiran-pikiran yang mengganggunya. "Aku tidak akan melakukan apa pun. Aku tahu Fargo adalah keponakanku, tapi aku ingin mengajarinya bertanggung jawab atas apa yang telah dia lakukan. Aku akan membantunya mungkin nanti di saat dia benar-benar berada di ambang masalah yang tak bisa lagi teratasi olehnya." "Aku setuju dengan pemikiranmu," jawab Deston menyetujui. "Baiklah, aku harus pulang sekarang. Belakangan ini ibumu sering sakit karena memikirkan masalah Fargo dan Gilda. Tidak hanya ibumu saja, tapi kakakmu juga sering kurang sehat. Mereka semua takut Fargo dan Kimberly akan bercerai." "Kimberly berhak menentukan kebahagiaannya. Perselingkuhan adalah hal yang tidak bisa dimaafkan. Fargo bahkan sampai menghamili Gilda. Menurutku, keputusan Kimberly ingin bercerai dengan Fargo sangat tepat," balas Damian menegaskan. Deston mengangguk sependapat. "Kau benar, tapi terakhir, Fargo bilang padaku dia tidak ingin bercerai dari Kimberly." Damian tak langsung menjawab ucapan Deston. Dalam benaknys saat ini memikirkan ucapan asistennya. Ternyata benar Fargo menolak bercerai dengan Kimberly. Harusnya Fargo senang karena bisa berpisah dari Kimbery, tapi kenapa Fargo menolak? Apa benar Fargo mulai jatuh hati pada Kimberly? Jutaan pertanyaan muncul dalam pikiran Damian saat ini. "Fargo boleh mengatakan tidak mau, tapi Kimberly memiliki hak untuk mengajukan perceraian. Jangan paksa Kimberly, Dad. Tetaplah bersikap bijak. Apa yang dilakukan Fargo adalah hal yang tidak bisa dimaafkan," ucap Damian meminta ayahnya untuk tidak membela Fargo. "Kau tenang saja. Aku tidak mungkin menyudutkan Kimberly. Terlebih selama ini, Kimberly sudah setia pada Fargo," jawab Deston—yang seketika itu juga membuat Damian terdiam beberapa saat. Perkataan Deston seolah memberikan sindiran untuknya. Damian memilih untuk diam dan membalas ucapan sang ayah dengan senyuman samar di wajahnya. Detik selanjutnya, Deston kembali pamit pulang, melangkah keluar meninggalkan ruamh meeting. Sementara Damian tetap masih duduk di kursi kepemimpinan. Pria tampan itu belum beranjak sedikit pun dari sana. "Tuan?" Freddy melangkah masuk ke dalam ruang meeting, tepat di kala Deston sudah pergi. "Ada apa?" Damian menatap Freddy yang mendekat padanya. "Tuan, tadi saya dengar dari sekretaris Anda, Nyonya Kimberly datang, tapi beliau tidak mau menunggu," ujar Freddy melaporkan. "Kimberly datang?" ulang Damian memastikan. "Benar, Tuan. Nyonya Kimberly datang." Freddy memberikan ponsel di tangannya pada Damian. "Ini ponsel Anda tertinggal di meja kerja Anda, Tuan." Damian segera mengambil ponselnya, memeriksa pesan masuk. Shit! Dia langsung mengumpat ketika pesannya tadi pagi ternyata tak terkirim pada Kimberly. Pasti ini karena signal sempat buruk. Dia segera membuka pesan masuk dari Kimberly, dan membaca pesan tersebut. *Damian, kau di mana? Kenapa tidak menghubungiku?* *Damian, segera telepon aku, jika kau sudah tidak sibuk. Ada hal yang ingin aku katakan padamu.* *Damian.* *Damian.* *Damian jawablah. Kenapa kau hanya diam saja?* *Hari ini apa kau sibuk sekali sampai melupakanku?* Pesan masuk Kimberly cukup banyak membuat Damian menautkan alisnya terkejut. Pasalnya tak biasanya Kimberly sampai mencercanya dengan pesan sebanyak ini. Detik berikutnya, Damian segera menghubungi nomor telepon Kimberly, tapi sayangnya nomor kekasihnya tak aktif. "Kenapa ponselmu tidak aktif, Kim," geram Damian kesal kala nomor Kimberly malah tidak aktif. ***Gelegar petir keras membelah langit di kota Los Angeles. Hujan turun menyapu bersih jalanan di malam hari. Pepohonan bergerak cukup keras akibat angin kencang. Beberapa mobil menghentikan jalan akibat hujan yang sangat deras, tapi tidak dengan Kimberly yang terus melajukan mobil dengan kecepatan penuh. Beberapa kali dia menyalip mobil demi agar dirinya tak terhalangi. Pun dia selalu melihat spion demi mengawasi dan memastikan tak ada yang mengikuti mobilnya. Air mata Kimberly mulai kembali berlinang mengingat kejadian tadi. Kejadian di mana Fargo nyaris memerkosanya. Sungguh, dia benar-benar bersyukur karena bisa selamat dari cengkraman Fargo. Dia tak tahu apa yang harus dia lakukan sampai tadi Fargo menyentuhnya. Meski Fargo adalah suaminya, tapi Kimberly tak rela tubuhnya disentuh oleh Fargo. Kimberly membawa tangannya mengusap perutnya yang masih rata. Yang dia pikirkan saat ini adalah anaknya tetap sehat. Entah, dia tak tahu di mana Damian. Pun Kimberly belum menghubungi Damian, karena Kimberly sengaja mematikan ponselnya demi tidak ada yang bisa melacak keberadaanya. Kimberly masih memiliki ketakutan Fargo mengincar dirinya. Trauma yang dia alami akibat kejadian tadi membuatnya terus takut dan cemas. Terlebih sekarang kondisinya Fargo telah mengetahui dirinya sedang mengandung. Mobil Kimberly mulai memasuki gedung apartemen di mana unit milik Carol berada. Yang ada dalam pikiran Kimberly saat ini hanya Carol. Dia tak tahu harus ke mana. Dia takut kalau dirinya pulang ke apartemen pribadinya, malah Fargo mencarinya. Pun Kimberly tak ke penthouse Damian, karena dia pikir Damian masih sibuk bekerja. Kimberly turun dari mobil setelah mobilnya sudah terparkir sempurna. Dengan raut wajah pucat dan langkah kaki gontai, dia memasuki lobby apartemen—menuju lift yang ada di sana. Ting! Pintu lift terbuka. Kimberly melangkah keluar dari pintu lift dan segera menuju unit Carol. Saat dia sudah tiba di unit Carol, wanita itu menekan bell apartemen sahabatnya itu. Kenop pintu terbuka dari dalam. Senyuman patah di wajah Kimberly seraya menahan sakit di perut bagian bawahnya. Tubuhnya terasa lemah. Kepalanya semakin berat. Matanya sudah berkunang-kunang. "Kim?" Carol yang baru saja membuka pintu terkejut melihat kehadiran Kimberly. "Carol ... a-aku—" Belum sempat Kimberly menyelesaikan ucapannya, dia sudah jatuh pingsan. Dengan sigap, Carol menangkap tubuh Kimberly yang nyaris terjatuh. "Ya Tuhan! Kim? Kim?" Carol panik seraya menepuk-nepuk pipi Kimberly, berusaha untuk membangunkan Kimberly, tetapi sayangnya usaha Carol tetap nihil. Kimberly tak kunjung membuka matanya. Tanpa sengaja tatapan Carol melihat darah yang keluar dari paha Kimberly. Sontak, Carol terkejut dan panik melihat darah yang keluar dari paha sahabatnya itu sangat banyak."Oh, God! Apa yang harus aku lakukan? Kim? Kim? Bangun jangan membuatku takut, Kim." Carol terus berusaha membangunkan Kimberly, dan ketika tak ada hasil, dia segera menghubungi pihak security apartemen untuk membantunya membawa Kimberly ke rumah sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Damian & Kimberly
عاطفيةSebelum baca cerita ini, follow dulu akun ini dan follow instagram: abigailkusuma8 Warning 21+ (Mature content) *** Pernikahan layaknya princess di negeri dongeng adalah impian Kimberly Davies. Akan tetapi, siapa sangka semua impiannya hancur kala...