Aura kemarahan di wajah Damian begitu terlihat jelas. Sorot mata tajam dan menusuk layaknya terbakar oleh api. Rahang pria tampan itu mengetat, menunjukkan kobaran amarah yang tak lagi bisa teratasi. Benak Damian berputar tentang tadi malam, di mana Kimberly membuatkan teh untuknya. Tak ada hal yang sama sekali Damian curigai. Dia hanya mengingat dirinya mengantuk kala sudah meminum teh yang dibuat oleh Kimberly itu."Shit!" Damian mengumpat kasar. Hatinya mulai semakin tak enak memikirkan tentang teh yang dia minum. Pasalnya, dia tahu dirinya tak mungkin sampai mengantuk hebat sampai tak tertahan. Selelah-lelah dirinya, belum pernah Damian sampai mengantuk seperti tadi malam. Apa mungkin Kimberly menaruh sesuatu ke minumannya? Tapi untuk apa? Ke mana Kimberly pergi? Berengsek! Damian tak henti meloloskan makian akibat jutaan hal yang mengusik pikirannya. Kimberly tak mungkin pergi meninggalkan negara ini, tanpa izin darinya. Jika sampai Kimberly melakukan hal nekat, maka ada hal yang Kimberly sembunyikan. Damian mengatur napasnya seraya memejamkan mata singkat. Mati-matian, dia berusaha mengendalikan diri. Tak bisa memungkiri perasaan yang Damian alami saat ini adalah rasa yang merasakan terkhianati. Selama ini apa pun masalah yang terjadi pasti Kimberly selalu bercerita padanya. Tak pernah Kimberly menutupi sesuatu darinya. Bahkan sampai Kimberly berniat melarikan diri. Itu adalah hal yang benar-benar telah melampui batas kesabaran. "Tuan Damian." Freddy berjalan cepat menerobos masuk ke dalam, menghampiri Damian. Tampak raut wajah Freddy menunjukkan kepanikan dan kecemasan hebat. Damian mengalihkan pandangannya menatap Freddy dengan tatapan dingin dan tegas. Kilat matanya penuh tuntutan pada sang asisten. Ya, tepat di mana Freddy memberikan informasi yang membuat emosi Damian nyaris meledak, Damian langsung meminta Freddy untuk segera datang. Kemarahannya tak bisa teratasi. Sedari tadi otak Damian berusaha memunculkan pikiran positive, tapi kenyataan yang ada kecenderungan negative jauh lebih banyak. Meski demikian rasa khawatir Damian tetap jauh lebih mengungguli dari apa pun. "Ke mana Kimberly pergi? Apa yang sebenarnya terjadi, Freddy?!" seru Damian meninggikan suaranya. Freddy menelan salivanya susah payah. Telapak tangan Freddy keringat basah akibat rasa takutnya. Freddy sedikit menunduk. Keraguan mulai muncul di wajahnya. Dia seakan tak memiliki nyali untuk memberikan informasi yang telah dia ketahui. "Jawab aku, Freddy!" bentak Damian keras kala sang asisten hanya bungkam. "N-Nyonya Kimberly memutuskan pergi karena demi kebaikan bersama, Tuan." Freddy menjawab dengan nada yang begitu susah payah. Raut wajah Damian berubah mendengar apa yang dikatakan oleh Freddy. "Apa maksud ucapanmu, Freddy?!" geramnya penuh emosi. Freddy menatap Damian, mengumpulkan keberanian dalam dirinya untuk melaporkan informasi. "Tuan, saya minta maaf. Sebenarnya sebelum kejadian Tuan Ernest masuk rumah sakit, saya pernah meletakan alat penyadap suara ke ruang kerja Nyonya Kimberly. Maaf saya lancang melakukan ini, Tuan. Melawan ayah Anda bukan hal yang mudah. Ditambah asisten ayah Anda sangat gesit dalam bertindak. Saya takut kalau saya terlambat melangkah. Jadi, jalan satu-satunya yang saya lakukan meletakan alat penyadap suara di ruang kerja Nyonya Kimberly." "Tujuan utama saya meletakan alat penyadap suara di ruang kerja Nyonya Kimberly adalah saya hanya berjaga-jaga kalau Tuan Deston datang ke kantor Nyonya Kimberly dan memberikan ancaman pada Nyonya Kimberly, tapi ternyata dugaan saya salah, Tuan. Tuan Deston sama sekali tidak datang ke perusahaan Nyonya Kimberly, dan tadi sebelum saya ke sini, saya memeriksa alat penyadap suara yang saya letakan di ruang kerja Nyonya Kimberly. Mungkin Anda lebih baik mendengar langsung percakapan Nyonya Kimberly dan asisten beliau." Freddy berujar dengan nada yang begitu serius seraya memberikan rekaman suara yang sudah dia pindahkan ke ponselnya pada Damian. Terlihat Damian tak memberikan respon ucapan apa pun selain menerima ponsel Freddy. Sorot mata Damian menatap dingin dan tajam layar ponsel Freddy. Damian masih bergeming belum melakukan apa pun. Hanya saja raut wajah Damian memancarkan jelas rasa marah yang terselimuti penasaran. Detik selanjutnya, Damian segera memutar rekaman suara yang ada di ponsel milik Freddy itu. *Nyonya Kimberly, apa Anda yakin keputusan Anda untuk meninggalkan kota ini?* *Brisa, keputusanku adalah yang terbaik. Kemarin ayahku sudah menjadi korban. Aku tidak mau lagi orang yang tidak bersalah menjadi korban, Brisa.* *Tapi bagaimana dengan Tuan Damian, Nyonya? Apa Anda sama sekali tidak memikirkan perasaan Tuan Damian? Anak yang ada di kandungan Anda juga membutuhkan ayahnya.* *Brisa, aku selalu mencintai Damian sampai kapan pun. Damian adalah pria yang tidak akan pernah bisa tergantikan, tapi aku di sini tidak ingin egois mementingkan diriku sendiri. Akan banyak orang yang terluka. Suatu saat, aku yakin Damian mampu melupakanku. Damian pernah mampu melupakan mantan kekasih yang dia cintai, pasti akan tiba waktunya Damian menemukan wanita yang memang terbaik untuknya. Teruntuk masalah anak yang ada di kadunganku, aku tidak akan mungkin memisahkan hubungan ayah dan anak. Mungkin ketika anak kami lahir dan berusia satu tahun nanti, aku akan mempertemukannya dengan Damian. Aku harap di waktu itu tiba, sudah ada wanita yang menggantikanku.* *Nyonya, saya tahu berada di posisi Anda memang sangat sulit. Di sisi lain, Anda mencintai Tuan Damian, tapi di sisi lainnya, Anda tidak ingin ada korban yang berjatuhan karena mempertahankan hubungan Anda dan Tuan Damian. Melawan Tuan Deston Darrel bisa dikatakan nyaris tidak mungkin bisa. Sekalipun Tuan Damian mampu melawan Tuan Deston banyak sekali yang harus Tuan Damian korbankan.**Aku tidak mau Damian mengorbankan banyak hal. Sudah cukup perusahaan mendiang ibunya yang dia korbankan. Tenanglah, Brisa. Aku tidak apa-apa. Terkadang cinta memang tidak harus memiliki. Kau tidak usah mencemaskanku. Aku dan anakku akan tetap hidup bahagia. Aku harap Damian akan segera mendapatkan wanita yang terbaik di hidupnya, sesuai yang diinginkan Grandpa Deston.* Damian meremas ponsel yang ada di tangannya, nyaris meremukan. Geraman kemarahan pria tampan itu semakin menjadi. Api seakan membakar Damian kala mendengar rekaman suara Kimberly dan Brisa. Semua terdengar jelas rencana Kimberly. Bahkan di rekaman suara itu, terdengar suara Kimberly yang menahan isak tangis."Fuck!" umpat Damian kasar. Dia sangat marah dengan keputusan Kimberly, tetapi yang membuat dia jauh lebih marah adalah kelakuan ayahnya. Jika saja ayahnya tak melakukan hal segila ini, maka Kimberly tak akan pernah mengambil keputusan seperti ini. "Temukan keberadaan Kimberly dalam waktu lima menit! Jika kau tidak mampu, enyahlah kau dari hadapanku!" desis Damian dengan penuh ancaman pada sang asisten. "T-Tuan, m-mohon tunggu, Tuan. Saya masih melakukan pemeriksaan daftar penerbangan hari ini. Saya baru mendapatkan informasi kalau Nyonya Kimberly menggunakan pesawat komersial. Tidak menggunakan pesawat pribadi. Saya sempat kesulitan karena data dihapus dari sistem—" "Persetan dengan semua penjelasanmu! Jika dalam lima menit kau tidak menemukan Kimberly, lebih baik kau angkat kaki dari hadapanku!" bentak Damian keras. Tubuh Freddy sedikit bergetar mendapatkan ancaman Damian. Buru-buru Freddy mengeluarkan iPad-nya, dan memeriksa email masuk untuk memastikan informasi yang didapatnya. Freddy sempat panik di menit ketiga karena belum mendapatkan informasi tentang kebradaan Kimberly, tapi di kala wajah Freddy nyaris putus asa, tiba-tiba Freddy mendapatkan email masuk yang memberikan informasi tentang Kimberly. Dengan wajah panik, Freddy membuka email tersebut dan membacanya. "T-Tuan, Nyonya Kimberly melakukan penerbangan ke Singapore jam enam pagi tadi," jawab Freddy yang seketika itu juga membuat kilat mata tajam Damian mulai membaik. "Berengsek!" Damian mengumpat membayangkan penerbangan yang dilakukan Kimberly sangat jauh. Ditambah kondisi Kimberly yang sekarang sedang hamil muda. Pria tampan itu mengembuskan napas kasar, berusaha mengatasi amarah dalam dirinya. "Siapkan pesawat sekarang!" titahnya tegas seraya menyambar kunci mobil, dompet, dan mengganti kausnya, lalu mengambil jaket kulit di sofa. Tanpa memedulikan apa pun lagi, dia berlari keluar dari kamar. Refleks, Freddy sempat terkejut melihat Damian yang berlari. Dengan cepat dan sigap, asisten pribadi Damian itu segera berlari menyusul Damian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Damian & Kimberly
RomanceSebelum baca cerita ini, follow dulu akun ini dan follow instagram: abigailkusuma8 Warning 21+ (Mature content) *** Pernikahan layaknya princess di negeri dongeng adalah impian Kimberly Davies. Akan tetapi, siapa sangka semua impiannya hancur kala...