Bab 127. I'm Sorry

60 4 0
                                    

Damian mengendurkan dasi yang melingkar di lehernya. Pria tampan itu menyambar wine di hadapannya, dan menenggak kasar. Tampak raut wajah Damian begitu kacau. Pria tampan itu seperti memikirkan beban berat yang membuat emosinya menyulut. Pancaran mata Damian menyalang penuh rasa marah yang bercampur frustrasi. Otaknya seakan penuh dengan banyak hal yang sampai membuatnya tak terkendali.Damian memijat pelipisnya pelan berusaha untuk meredam segala amarah dalam dirinya. Meledakan emosi hanyalah sia-sia. Sebab bagaimanapun, yang Damian lawan adalah ayah kandungnya sendiri. Dia tetap tak bisa menyerang mati-matian. Lepas dari apa yang terjadi, tak mungkin dirinya sampai berani melukai sang ayah. Tatapan Damian teralih pada ponsel miliknya yang ada di atas meja. Benaknya mengingat dirinya belum menghubungi Kimberly hari ini. Pikiran yang sedang tak bisa berpikir jernih akhirnya membuatnya melupakan banyak hal. Damian mengambil ponselnya, dan segera menghubungi nomor Kimberly. Namun, sayangnya tak ada respon di nomor kekasihnya itu. Dia tak menyerah begitu saja, pria tampan itu kembali berusaha menghubungi nomor Kimberly. Hasilnya tetap nihil. Tak ada jawaban dari ponsel Kimberly. "Tuan Damian." Freddy melangkah menghampiri Damian. Damian mengalihkan pandangannya, menatap Freddy. "Ada apa?" "Tuan, langkah apa yang Anda ambil? Anda harus segera bertindak, Tuan. Sebelum semua ini benar-benar kacau," ujar Freddy mengingatkan. Damian mengembuskan napas kasar. Dia meletakan gelas berkaki tinggi di tangannya ke atas meja. Raut wajah Damian berubah, seperti memikirkan sesuatu. "Jual saham milik perusahaan ibuku untuk membantu Davies Group. Tambahkan uang pribadiku untuk memulihkan kondisi perusahaan keluarga Kimberly. Aku tahu tetap masih kurang, tapi setidaknya mereka pasti mampu bertahan. Untuk sekarang fokuskan menyelamatkan perusahaan keluarga Kimberly lebih dulu. Jika kondisi Davies Group sudah sedikit membaik, baru aku akan mengambil langkah menyelamatkan perusahaan Kimberly." "Maaf, Tuan. Anda ingin mengorbankan perusahaan mendiang ibu Anda?" tanya Freddy hati-hati. Damian terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh Freddy. Pancaran mata Damian kali ini menunjukkan jelas sebuah rasa yang membuatnya berada di ambang jurang. Dia telah terbelenggu dalam hal ini. Terpaksa dia harus mengorbankan perusahaan mendiang ibunya demi menyelamatkan perusahaan keluarga Kimberly. Pasalnya semua yang terjadi di hidup Kimberly karena kesalahan ayahnya. "Aku tidak memiliki pilihan lain, Freddy. Hanya ini cara satu-satunya yang aku ambil. Aku yakin mendiang ibuku akan setuju dengan keputusan yang aku ambil. Di akhir nanti, aku akan berusaha menyelamatkan perusahaan ibuku. Gagal atau berhasil, terpenting bagiku saat ini aku tetap mengutamakan menyelamatkan perusahaan keluarga Kimberly," jawab Damian dengan nada dingin, dan penuh ketegasan di sana. Freddy mengangguk paham di kala mendengar apa yang dikatakan oleh tuannya. Tiba-tiba terdengar dering ponsel Freddy. Refleks, Freddy melihat ke layar ponselnya itu, dan segera menolak panggilan. Dia tak mungkin menjawab telepon di hadapan tuannya itu. Namun, di kala Freddy baru saja menolak panggilan, ponsel miliknya kembali berdering. "Jawablah ponselmu," ucap Damian dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi. "Baik, Tuan." Freddy segera menjawab panggilan di teleponnya kala Damian memintanya untuk menjawab. "Ada apa?" ujar Freddy kala panggilan terhubung. "Terjadi masalah, Freddy," seru seorang pria yang merupakan salah satu anak buah Damian. "Masalah apa?" "..." "Apa? Kau sedang tidak main-main, kan?" "..." Raut wajah Freddy berubah panik dan cemas kala mendengar informasi yang di dapatkan. Detik itu juga Freddy menutup panggilan teleponnya, dan segera mengalihkan pandangannya menatap Damian dengan tatapan lekat dan tersirat cemas. "Tuan," seru Freddy khawatir. "Ada apa, Freddy?" Alis Damian menaut, tatapannya menatap lekat Freddy. "Tuan Ernest terkena serangan jantung. Keadaannya kritis di rumah sakit, Tuan," jawab Freddy memberi tahu, dan sontak membuat Damian terkejut. Tangan Damian mengepal dengan kuat. Kilat matanya semakin tajam. Emosinya semakin tersulut akibat rasa bersalahnya. Makian dan umpatan lolos dalam hati. Dia tahu yang membuat Ernest sampai tumbang pasti karena masalah yang disebabkan oleh ayahnya. "Di mana Kimberly? Apa dia sudah tahu tentang ayahnya?" tanya Damian yang berusaha menahan amarah. "Nyonya Kimberly sekarang berada di rumah sakit, Tuan," jawab Freddy memberi tahu. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Damian menyambar kunci mobilnya yang ada di atas meja, berlari meninggalkan ruang kerjanya—dengan raut wajah begitu panik dan cemas. ***Kimberly menatap Ernest yang terbaring lemah dan tak berdaya di ranjang. Tatapannya memancarkan jelas kerinduan dan kasih sayangnya pada sang ayah. Melihat ayahnya berada di ambang kematian membuat hidupnya benar-benar terpuruk. Tak pernah dia sangka akan terjadi seperti ini. Sungguh, dia menyesali semuanya. "Nyonya, lebih baik Anda pulang dan istirahat. Ini sudah malam. Biakan saya yang menjaga Tuan Ernest," ucap Brisa mengingatkan Kimberly. Satu jam lalu, Carol sudah pulang. Sementara Maisie masih belum juga siuman. Kondisi Maisie masih sangat drop. "Aku di sini saja, Brisa. Aku tidak mau jauh dari ayahku," jawab Kimberly pelan. "Nyonya, tapi Anda sedang hamil muda. Saya takut terjadi hal buruk pada Anda, Nyonya," ujar Brisa memberikan nasihat pada Kimberly. "Brisa, kau tidak perlu—" Percakapan Kimberly terpotong kala pintu ruang rawat terbuka. Refleks, Kimberly dan Brisa mengalihkan pandangan mereka ke arah pintu. Tampak raut wajah Kimberly berubah melihat Damian yang berdiri di ambang pintu. "Tuan." Brisa menundukkan kepalanya kala Damian melangkah mendekat. Detik itu juga Brisa segera pamit undur diri dari hadapan Damian dan Kimberly. Brisa tak mau sampai mengganggu. "Kim?" Damian menatap hangat Kimberly. Kimberly langsung menghamburkan tubuhnya ke dalam pelukan Damian. Wanita itu terisak dalam pelukan sang kekasih. Dia tahu dirinya sudah mengambil keputusan untuk menyerah, tapi Kimberly ingin sebentar saja merasakan pelukan kekasihnya sebelum dirinya benar-benar tak lagi bisa merasakan pelukan ini. "Maafkan aku, Damian," lirih Kimberly. "Kenapa kau minta maaf, hm?" Damian menangkup kedua pipi Kimberly, menyapukan hidungnya ke hidung sang kekasih. "Harusnya aku yang minta maaf atas semua masalah yang terjadi." Damian mengecupi mata Kimberly yang sembab. Kimberly kembali memeluk Damian erat. Menenggelamkan wajahnya di dada bidang Damian. Wanita cantik itu masih terisak dalam dekapan sang kekasih. Dia tak mengeluarkan sepatah kata pun pada Damian. Sebab, dia telah memutuskan semuanya. 'Maafkan aku, Damian,' batin Kimberly dengan raut wajah yang menyimpan luka mendalam. Benaknya telah mengetahui apa yang harus dia lakukan. Menyerah bukan berarti dirinya tak mencintai Damian. Tentu dia sangat mencintai Damian. Akan tetapi, dia menyerah karena ini adalah hal yang terbaik agar tak lagi ada orang yang tak bersalah menjadi korban sebuah keegoisannya.

Damian & KimberlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang