Bab 132. Sleeping Pills

78 3 0
                                    

Hari berganti hari. Kondisi Ernest berangsur-angsur membaik. Dokter sudah mengizinkan Ernest untuk pulang. Selama Ernest di rumah sakit, Kimberly yang mengurus semua hal termasuk mengenai perusahaan. Saat ini keadaan perusahaan dikatakan cukup membaik walau masih merugi. Akan tetapi, Kimberly tak memungkiri bantuan Damian tempo hari sangat berdampak positive bagi perusahaannya."Nyonya Kimberly, Tuan Ernest sudah di rumah bersama dengan Nyonya Maisie. Saya sudah meminta beliau untuk fokus pada pemulihan tanpa memikirkan masalah perusahaan," ujar Brisa melaporkan pada Kimberly. Kimberly terdiam beberapa saat. "Good, pastikan ayahku hanya memikirkan tentang pemulihan kesehatannya saja. Aku tidak mau ayahku memikirkan tentang perusahaan." "Hm, Nyonya—" Brisa menjeda sebentar, tampak ragu untuk mengatakan sesuatu pada Kimberly. "Ada apa, Brisa?" Sebelah alish Kimberly terangkat, menatap lekat Brisa. "Begini, Nyonya, apa Anda yakin akan keputusan Anda untuk pindah dari negara ini? Anda belum sama sekali berdiskusi dengan ayah Anda. Jika ayah Anda mengetahui tentang rencana Anda, pasti ayah Anda akan melarang Anda, Nyonya," ujar Brisa berusaha menasihati. Kimberly menghela napas dalam mendengar ucapan Brisa. Wanita cantik itu mengambil teh madu yang ada di hadapannya, dan menyesap perlahan. Tampak jelas raut wajahnya begitu muram. Pandangannya lurus ke depan dan melemah. Ya, hingga detik ini memang dia belum sama sekali berdiskusi dengan ayahnya mengenai dirinya yang ingin meninggalkan Los Angeles. Ada alasan kuat dia sengaja tidak memberi tahu sang ayah. Salah satunya adalah perkataan Damian tempo hari yang mengatakan akan terus memperjuangkan hubungan mereka, membuat Kimberly seakan berada di ambang rasa bersalah. Dia tahu dirinya sangat egois memilih menyerah, tetapi keputusannya ini adalah keputusan yang terbaik. Dia tak mau banyak orang terluka karena masih mempertahankan hubungannya dengan Damian. Sudah cukup ayahnya yang menjadi korban. Dia tak ingin semakin banyak korban berjatuhan demi hubungannya dengan Damian. "Aku akan menghubungi ayahku dan ibu tiriku kalau sudah tiba di negara tujuanku, Brisa. Kau tidak usah khawatir. Yang aku putuskan adalah yang terbaik. Cepat atau lambat, Damian pasti akan melupakanku," jawab Kimberly pelan menahan rasa sedihnya. "Lalu bagaimana dengan anak yang ada di kandungan Anda, Nyonya? Apa Anda akan memisahkan ikatan ayah dan anak?" "Aku tidak sekejam itu, Brisa. Aku akan mempertemukan anakku dan Damian jika usianya sudah memasuki satu tahun. Aku harap di waktu itu juga, Damian telah memiliki penggantiku." Brisa mengangguk patuh. "Baiklah, Nyonya. Saya menghargai apa yang telah Anda putuskan. Saya akan selalu siaga membantu Anda kapan pun. Penerbangan Anda besok, sudah siap, Nyonya. Jam enam pagi pesawat akan berangkat. Apa Anda ingin saya memberi tahu Nona Carol, Nyonya?""Tidak usah, Brisa. Nanti kalau aku sudah tiba, aku yang akan menghubungi Carol sendiri. Thanks, kau sudah banyak membantuku, Brisa," jawab Kimberly pelan. "Dengan senang hati, Nyonya." Brisa menundukkan kepalanya di hadapan Kimberly. Kimberly terdiam seribu bahasa di kala Brisa pergi. Tatapannya menatap lurus ke depan, sebuah tatapan yang mengisyaratkan banyaknya masalah yang ada di dalam pikirannya. Namun, yang pasti caranya ini merupakan cara yang terbaik. ***Waktu menunjukkan pukul enam sore. Kimberly baru saja tiba di penthouse yang dia tempati dengan Damian. Pagi ini dia memang berangkat ke kantor lebih awal. Pasalnya banyak hal yang harus dia periksa termasuk persiapan untuk kepindahannya dari Los Angeles. Tak ada yang tahu tentang kepindahannya, hanya Brisa yang dia percayai saat ini. Tadi di kantor, tak banyak yang Kimberly lakukan. Wanita cantik itu hanya meninggalkan catatan untuk dilakukan asistennya selama dirinya meninggalkan kota ini. Keputusannya sudah bulat dan tak bisa diganggu gugat. Walau dia melukai Damian, tapi paling tidak dia menyelamatkan orang yang tidak bersalah. Seiring berjalannya waktu, Damian pasti akan melupakannya. "Nyonya Kimberly," sapa sang pelayan yang membuat Kimberly mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu. "Hm? Ada apa?" Kimberly menatap sang pelayan."Nyonya, Tuan Damian sudah di kamar. Beliau menunggu Anda." "Ah, begitu. Baiklah. Nanti aku akan ke kamar. Aku ingin membuat teh lebih dulu untuk Damian." "Nyonya, biarkan saya saja yang membuat teh. Nanti saya akan mengantarkan ke kamar." "Tidak usah. Aku saja. Kau tolong siapkan makan malam antarkan ke kamar. Aku sedang ingin makan malam di kamar." "Baik, Nyonya." Pelayan itu menundukkan kepalanya dari hadapan Kimberly, lalu segera pamit undur diri, mempersiapkan apa yang telah Kimberly perintahkan padanya. Di dapur, Kimberly langsung membuat teh yang memang sengaja dia ingin buat untuk Damian. Detik selanjutnya, tatapannya teralih pada obat yang ada di dalam tasnya. Beberapa saat, Kimberly terdiam dengan jutaan hal muncul di pikirannya. Dia mengatur napasnya, meneguhkan diri bahwa apa yang dia putuskan adalah memang yang paling terbaik. Perlahan, Kimberly mengambil obat itu dan langsung memasukan bubuk obat ke dalam teh khusus untuk Damian. Tampak raut wajahnya begitu bersalah. Andai saja hubungannya dengan Damian tak serumit ini, maka pasti dirinya dan Damian sudah bahagia. Sayangnya impian hidup bahagia dengan Damian adalah hanya menjadi angan yang tak akan terwujud. "Maafkan aku, Damian," gumam Kimberly pelan dan lemah. Berikutnya, dia melangkah pergi meninggalkan ruang dapur, menuju kamar. Dia berusaha memasang wajah senyum di balik kerapuhan dan kesedihan di wajahnya. Setibanya di kamar, tatapan Kimberly teralih pada Damian yang tengah duduk sofa seraya berkutat pada ponsel. Di hadapan Damian sudah tertata menu makan malam yang telah pelayan siapkan untuknya dan kekasihnya itu. "Kim?" Damian tersenyum kala menyadari Kimberly sudah pulang."Maaf aku pulang telat." Kimberly mendekat, dan meletakan cangkir teh yang ada di tangannya ke atas meja, lalu duduk di pangkuan kekasihnya itu. "Apa hari ini kau sibuk?" Damian menarik dagu Kimberly, mencium dan melumat bibir Kimberly. "Sedikit. Ayahku baru saja pulang dari rumah sakit jadi ada beberapa hal yang aku urus," jawab Kimberly pelan. Damian menganggukkan kepalanya samar merespon ucapan Kimberly. Hari ini dia tak bisa melarang Kimberly karena kodisi Ernest baru saja keluar dari rumah sakit. Namun, meski demikian, dia selalu meminta Kimberly mengutamakan kehamilannya. "Ya sudah, lebih baik kita makan. Aku tidak ingin kau tidur terlambat," ucap Damian seraya mengecup bibir Kimberly. "Aku juga sudah membuatkan teh hangat untukmu, Damian." "Kenapa kau tidak meminta pelayan saja, Kim?" "Tidak, aku ingin sendiri menyiapkan secangkir teh untukmu." Damian tersenyum seraya membelai lembut pipi Kimberly. Lantas, dia mulai menikmati makan malam bersama dengan Kimberly. Terlihat sejak tadi tatapan mata Kimberly tak lepas menatap Damian. Tatapan yang seolah mengisyaratkan bahwa itu adalah tatapan yang terakhir. Hingga ketika makan malam berakhir, Kimberly segera mengambil teh dan memberikannya pada Damian. Pun tanpa bantahan, Damian langsung meminum teh yang dibuat oleh Kimberly secara perlahan. Teh itu habis diminum oleh Damian. Cangkirnya diletakan di atas meja. Tampak mata Damian menyipit kala merasakan kantuk benar-benar menyerang dirinya. Kimberly yang duduk di samping Damian tetap memasang wajah tenang seolah tak terjadi apa pun. "Kim, sepertinya kita harus tidur sekarang. Aku mulai mengantuk," kata Damian mengajak Kimberly untuk tidur lebih awal. Kimberly mengangguk dengan mata yang sedikit berkaca-kaca membendung kesedihan tertahan. "Ya, Damian. Aku juga ingin tidur lebih awal malam ini. Aku ingin tidur dalam pelukanmu."

Damian & KimberlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang