32

134 18 0
                                    

"Mana laporan yang saya minta kemarin?" Tanya Razan, intonasinya tegas dan dingin banget. Semua karyawan yang faham akan intonasi ini memilih nunduk dan melanjutkan pekerjaan tanpa suara,

Berbeda dengan Ivy yang mendadak gelagapan karena tiba-tiba Razan ada disini, di mejanya.

"Kan saya udah bilang, ini tempat kerja. Bisa gak kamu tau tempat! Ini bukan salon" ucapan Razan sehabis melihat kutek berwarna pink yang ada diatas meja Ivy, sepertinya memang perempuan itu sibuk mewarnai kuku.

"Masih mau kerja disini gak?!" Tanya Razan penuh penekanan, Ivy mengangguk pelan.

"Masih mau gak?!" Tanyanya lagi, benar-benar penuh penekanan.

"M... Ma... Mau pak"

"Kalo masih mau kerja disini, laporan yang saya minta dari kemarin harus udah ada di atas meja saya satu jam dari sekarang—"

"Saya gak nerima alesan apapun!" Sambungnya lagi lalu Razan pergi begitu saja meninggalkan Ivy yang masih menunduk ketakutan,

Lelaki ini masuk kedalam ruangannya kembali sambil mengacak-acak rambutnya, kesal bukan main ia kali ini. Kepada Sabrina, bahkan di support dengan Ivy yang ada di kantor tetapi malah mewarnai kuku. Benci sekali dia.

Benar-benar mood Razan kurang baik sekali hari ini dan seharusnya ia memang dirumah saja, tidak perlu bekerja karena pasti ujungnya semua karyawan disini kena imbasnya.

Memang terlihat tidak profesional, tetapi memang begitu namanya perasaan dan emosi. Bukankan di dunia nyata juga banyak yang seperti ini?

Pintu ruangan diketuk, sesuai Razan berteriak masuk. Seorang lelaki masuk dengan wajah ketakutan, Razan tau benar.

Hadin masuk dengan memberikan satu map berwarna biru, ia menyodorkannya pada Razan sampai lelaki itu heran sendiri apa isinya?

"Itu laporan yang bang Razan minta tadi, Adin udah bantuin rekap bang selama satu bulan kemarin"

Bisa dibilang, Razan tidak pernah salah memperkerjakan Hadin disini, di kantornya. Mengingat lelaki itu benar-benar cerdas dalam hal apapun.

"Gue gak minta lu yang kerjain Din, gue minta sekretaris gue" Razan letakkan map tersebut diatas meja.

"Sama aja bang, nanti bang Razan terima aja laporan dari Ivy terus bang Razan cocokin sama punya Adin"

Yang Hadin lihat malah Razan memijat kepalanya sendiri, Hadin menarik kursi dan duduk dihadapan Razan.

"Lu mau cerita bang ke gue?" Hadin harus berubah menjadi teman satu tongkrongan Razan kali ini, karena sepertinya lelaki itu butuh bercerita.

"Enggak Din"

Keluar ruangan Razan berpapasan dengan Ivy yang hendak masuk namun wajahnya ragu, jelas Hadin dapat melihat itu. Perempuan itu memeluk map berwarna putih,

Masuk kedalam setelah dipersilahkan lalu ia memberikan map berwarna putih miliknya.

Tidak sampai 5 menit dibaca, map tersebut diletakkan diatas meja. Lalu ia kini menatap Ivy dengan wajahnya yang tanpa ekspresi.

"Saya harap, disini hanya ada urusan pekerjaan antara saya dan kamu" ucap Razan tiba-tiba, Ivy seperti diikat oleh tali besar. Sesak rasanya.

"Saya cuma minta kamu untuk profesional saja karena kinerja kamu bagus—" ucapan Razan terpotong.

"Berhenti menaruh perasaan apapun pada saya, selain perasaan segan kamu karena saya adalah atasan kamu disini" sambungnya lagi.

"Kejadian semalam, anggap saja gak pernah terjadi. Saya cuma nolong kamu dan untuk urusan lelaki yang semalam—" Razan menegakkan duduknya itu, tangannya bertaut diatas meja. Ia menatap Ivy mengintimidasi.

"Kalau dia sampai berani mencelakakan saya bahkan istri saya, dimanapun—"

"Kamu yang akan saya cari" tandas Razan, Ivy mendelik terkejut.

"Sekarang kamu boleh keluar dan lanjutin pekerjaan kamu"

👽

Duduk manis di sofa ruang tengah keluarga Razan, Sabrina siang ini pergi kerumah mertuanya seorang diri. Tanpa memberitahu Razan bahkan tanpa meminta antar Oji selaku orang kepercayaan suaminya. Jika Razan marah, itu menjadi urusan nanti saja.

Menonton serial sinetron kesukaan bunda Maya siang ini, bersamaan dengan Sabrina yang ternyata ikut masuk kedalam ceritanya. Sabrina jadi suka menonton ini.

"Seru juga ya bun" ucap Sabrina, kala iklan melanda.

"Iya, bunda selalu nonton ini setiap hari. Gregetan" sahutnya.

"Makanya kamu tinggal disini aja, temenin bunda nonton sinetron ini"

"Bunda tau sendiri Razan gimana orangnya" mendengar nama anaknya disebutkan, membuat Maya ngangguk-ngangguk faham.

Razan tekadnya selalu bulat, jika dari awal nikah dia sudah menyiapkan rumah, maka bagaimana pun caranya mereka harus tetap tinggal berpisah di rumah pembeliannya itu.

"Sebenernya aku juga bosen bun dirumah sendirian, gak ada temen"

"Kamu kerumah bunda aja setiap hari kalo Razan kerja atau kamu main ke kantor Razan?" Sabrina diam, fikirannya menjadi teringat akan adanya Ivy disana.

"Tapi, Bina mau tanya deh bunda" Sabrina mengubah posisi duduknya, kini seakan-akan ia ingin membicarakan hal serius.

"Apa?"

"Bunda dulu pas ayah kerja di kantor kayak Razan sekarang, bunda kemana kalo gak ada orang?" Maya berfikir seakan-akan ia mengingat kejadian beberapa puluh tahun.

"Bundaaa.... Bunda ke kantor ayah, kadang juga bunda kerumah neneknya Razan. Ibunya bunda"

"Tapi dikantor ayah, ayah punya sekretaris gak?"

"Punya, tapi cowok" sahut Maya,

"Tapi kenapa Razan milihnya perempuan ya?" Gumam Sabrina pelan, Maya mendengarnya hanya seperti gerutuan kecil.

"Kenapa sayang?" Tanya Maya, Sabrina geleng kepala.

"Gapapa bunda"

"Dulu, ayah tuh sama banget kayak Razan sekarang dan bunda, persis kayak kamu—"

"Setiap hari kesepian, bingung mau kemana. Rumah gede banget, tapi bunda sendiri"

"Tapi ayah selalu cek bunda lewat telfon, setiap jam dia telfon nanya bunda ngapain? dia selalu nyuruh bunda ke kantor aja tapi bunda gak pernah mau kalo setiap hari, takut ganggu" Maya bercerita dengan senyum tercetak di bibirnya, layaknya kenangan ini menjadi manis sekali di ingatannya. Apa nanti juga kenangan ini manis dikepala Sabrina kelak?

"Ada yang mau kamu ceritain ya ke bunda?"

"Enggak bun" Sabrina geleng kepala.

"Kalo kamu lagi ada masalah sama Razan, itu manusiawi. Tapi, kamu harus bisa selesain masalah itu dengan kepala dingin. Jangan ada api dibalas api nanti kebakaran" ucap Maya sambil terkekeh,

"Suamimu tau, kamu kesini?" Tiba-tiba banget Maya bertanya membuat Sabrina gelagapan, mau jawab bohong atau jujur enaknya?

Tetapi, Sabrina sepertinya tidak bisa berbohong. Ia memilih untuk menggeleng,

"Kabarin suamimu nak, biar kamu kesel sama dia hari ini. Tapi dia harus tau kamu dimana—"

"Ayo, kabarin" sambung Maya karena dihadapannya, Sabrina hanya diam seperti memikirkan banyak hal.

"Iya bun"

THE PRETTIEST SABRINA (gettin married)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang