Hidup ini bukan panggung untuk sandiwara yang sempurna. Tak semua anak dari keluarga kaya raya hidup bahagia, dan tidak semua pria tumbuh menjadi sosok dingin yang enggan membuka luka lama.
Ada cerita yang perlu diceritakan, bukan untuk dikasihani, tapi untuk dimengerti. Bukan karena ingin jadi pusat perhatian, tapi karena diam terlalu lama hanya akan membuat luka makin dalam.
Kean berdiri di depan jendela apartemennya, menatap langit Paris yang bertabur cahaya kota. Tapi tak satu pun dari gemerlap itu bisa menyentuh hatinya.
“Aku bukan tokoh dalam novel klise yang semua orang tahu akhirnya,” gumamnya. “Dan aku tidak peduli dengan omong kosong ‘lelaki tak boleh menangis’.”
Masih dengan langit malam di kota Paris, yang indah. Kean, berbicara pada bulan yang bersinar paling terang.
Ia menarik napas dalam, lalu menatap bayangan dirinya sendiri di kaca jendela. Pandangan itu bukan milik anak muda berusia 20-an. Itu adalah mata lelaki yang kelelahan, terlalu cepat dewasa.
Kean adalah salah satu keturunan keluarga Bennet, keluarga terpandang yang namanya menggema hingga ke benua lain. Namun, jangan samakan dia dengan Bennet lainnya—Kean membenci fakta bahwa darah keluarga itu mengalir dalam dirinya.
“Aku Keandric… D'Bennet,” ucapnya lirih, seperti ingin meyakinkan dirinya sendiri.
Senyap. Hanya dengung mesin pemanas dan detak jam dinding yang terdengar.
“Aku benci nama itu. Aku benci darah yang mengalir di tubuhku. Bennet—nama yang katanya begitu agung, katanya dikenal sampai ke benua lain. Tapi buatku? Neraka.”
Ia tertawa kecil, getir.
“Tapi bukan itu yang ingin kuceritakan.”
Ia berbalik, berjalan menuju meja kecil di ruang tamunya. Di atasnya, sebuah bingkai foto keluarga yang sudah mulai buram warnanya.
Foto itu diambil sudah lama, usianya baru sepuluh tahun. Dengan kedua adiknya, yang masih sangat kecil dan menggemaskan.
“Aku ingin cerita tentang masa kecilku,” katanya lagi, kali ini dengan nada lebih lembut. “Waktu segalanya masih indah.”
Keluarga Cemara—begitulah orang-orang menyebut mereka saat itu. Ayah yang hangat, ibu yang penuh kasih, dua adik yang ceria. Dan Kean, si sulung yang penuh harapan.
“Ibu,” bisiknya sambil menyentuh kaca bingkai. “Kau dulu pelukanku, dapur hangatku, tempat curhatku.”
Namun segalanya berubah ketika ibunya pergi—pergi untuk selamanya. Sosok yang selama ini menjadi matahari dan cahayanya, lenyap. Tak ada lagi pelukan hangat, masakan lezat, atau senyuman yang menenangkan. Sejak saat itu, hidup Kean berubah menjadi mimpi buruk yang nyata.
“Sejak itu… dunia rasanya tak punya cahaya lagi. Rasanya, semua mimpi buruk mulai nyata satu per satu.”
Tahun demi tahun berlalu. Ayahnya berubah. Ia tak lagi berbicara banyak, hanya menenggelamkan diri dalam pekerjaan, seolah tak ingin berurusan dengan dunia.
Kean mencoba mengerti—mungkin sang ayah masih berduka. Maka ia memutuskan untuk memikul tanggung jawab sebagai kakak. Leandric dan Alderic, adik-adiknya, menjadi alasan Kean untuk tetap kuat.
Namun tiga tahun yang lalu, segalanya runtuh. Rumah yang dahulu hangat berubah menjadi dingin dan asing. Ayah mereka tak lagi hanya diam—ia menunjukkan wajah baru yang tak pernah mereka kenal. Bukan dengan pukulan, tapi dengan sikap dingin dan perintah yang menyesakkan.
Ayah mereka berubah. Bukan karena ia memukul atau membentak. Tapi karena sikap diam dan pandangan kosongnya lebih menyakitkan daripada tamparan.
Sampai akhirnya...
KAMU SEDANG MEMBACA
A R S E A N A
Разное••• Tentang Arseana yang sudah mati namun menemukan dirinya yang lain masih hidup di dimensi berbeda dengan kisah hidup yang masih sama. Entah kenapa dirinya disini sudah mempunyai anak dan istri, keluarga nya sendiri yang dia pikir hanya impian yan...
