Eropa Timur.
Skotlandia. Britania Raya.
Sudah tiga bulan. Musim gugur menyelimuti kota. Daun-daun berserakan. Berterbangan. Menyisakan ranting pohon-pohon dijalanan.
Dan.. Sudah..
Empat tahun sudah sejak nama Arseana Milan D'Bennet—atau yang kini lebih dikenal sebagai ARSEANA—menggema di jagat bisnis global. Usianya baru dua puluh empat, tapi dunia telah menunduk saat mendengar namanya.
Perusahaannya, warisan turun-temurun dari cabang Caelan, kini menjelma menjadi raksasa lintas benua yang tak tertandingi. Setiap majalah bisnis, setiap layar kaca, setiap headline menulis namanya dengan penuh takjub The Young King of the Corporate World.
Dia punya segalanya. Kekayaan. Kuasa. Seluruh kota di Britania Raya bahkan seolah membentangkan dirinya tiap kali Sean melangkah keluar dari Bentley hitamnya.
Selama empat tahun Sean menjalankan hidup seperti agen ganda. Menjadi CEO perusahaan ternama dan diam-diam menyelesaikan “misi” yang ia terima lewat pesan rahasia.
Sean belum kembali ke tempat rahasianya yaitu “dibalik pegunungan Zagros” hanya ada pesan yang meminta Sean untuk “menjalankan sebuah misi” sudah ada puluhan misi dalam kurun waktu empat tahun.
Sean selalu dalam kondisi terbaiknya. Mungkin itu fisiknya. Namun didalam hatinya sedikit demi sedikit mulai rapuh. Sean merasa hidupnya di awang-awang.
Tapi sore itu, di ruang kaca kediamannya yang menghadap padang rumput berkabut—Sean tak terlihat seperti raja muda. Ia duduk diam di sofa, tubuh tegapnya bersandar malas, dan matanya terpaku pada secangkir teh yang sudah dingin.
Di sampingnya, Leon duduk tanpa suara, hanya menatap siluet pria yang telah ia kenal terlalu lama ambisius, licin, sinis—tapi di balik semuanya, selalu ada luka yang belum selesai.
“Sudah empat tahun...” gumam Sean pelan, suaranya serak, entah karena cuaca atau karena batin yang menjerit.
Leon menoleh, menunggu kelanjutan kalimat itu tanpa menyela.
“Sudah empat tahun sejak aku tinggalkan dia di Zagros. Gunung itu... terakhir kali aku lihat kakek—dia berdiri di menara tinggi. Menatap kepergianku.”
Ia tertawa tipis, getir. “Kupikir aku bisa kembali kapan saja. Tapi sekarang... bahkan bayangannya pun mulai kabur.”
Hening. Sean menunduk. Tangan kirinya mengusap wajahnya kasar, lalu menggenggam rambutnya.
“Masalahnya... aku bahkan tidak tahu di mana dia sekarang. Tidak ada sinyal, tidak ada alamat. Orangnya... tidak bisa dilacak. Jangan kan orangnya, Leon. Rumah itu saja... tempat terindah yang pernah aku tempati... rasanya seperti mimpi. Seolah tidak pernah ada.”
Angin dari celah jendela menggerakkan tirai tipis. Skotlandia tampak murung, mendung menggantung di atas menara-menara tua.
Leon masih diam. Tapi matanya menatap Sean dengan iba yang tak diucapkan. Ia tahu, kekuasaan tak pernah bisa menambal lubang di dada yang dibiarkan menganga terlalu lama.
“Aku ingin melihatnya, Leon...” suara Sean pecah, nyaris seperti anak kecil. “Aku cuma ingin tahu... dia masih hidup atau tidak.”
Dan dalam kesunyian itu, hanya detak jam antik tua yang terdengar. Setiap detiknya seperti mengingatkan bahwa waktu terus berjalan.
Tapi tidak untuk kenangan yang tertinggal di pegunungan asing, bersama seorang kakek yang menghilang seperti kabut—perlahan, diam-diam, tapi menghantui.
“...Aku akan mencarinya.”
Sean bangkit dari duduknya. Melangkah masuk ke ruang kerja di dalam mansionnya. Sudah empat tahun juga Sean tinggal disini. Di rumahnya. Mansionnya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
A R S E A N A
Random••• Tentang Arseana yang sudah mati namun menemukan dirinya yang lain masih hidup di dimensi berbeda dengan kisah hidup yang masih sama. Entah kenapa dirinya disini sudah mempunyai anak dan istri, keluarga nya sendiri yang dia pikir hanya impian yan...
