Kean bersandar di belakang pintu, matanya perlahan-lahan tertutup. Kantuk menariknya masuk ke dunia yang berbeda gelap, sunyi, dan dingin.
Dia berdiri di tengah ruangan kosong. Cahaya temaram jatuh dari langit tanpa sumber yang jelas. Udara di sekitarnya begitu dingin, seperti musim dingin yang tidak akan berakhir.
Lalu, terdengar suara langkah kaki.
Pelan. Lembut. Akrab.
Kean menoleh. Di sana, di balik bayangan yang samar, berdirilah sosok seorang wanita. Gaun putihnya berkibar pelan, rambutnya jatuh lembut di bahunya. tatapannya penuh kelembutan... dan kesedihan.
"Ibu?" suara Kean hampir tak terdengar.
Wanita itu tersenyum, tapi ada sesuatu di matanya yang membuat jantung Kean berdegup lebih kencang. Ia mencoba mendekat, tapi kakinya terasa berat, seolah-olah tanah di bawahnya menahannya.
"Ibu... jangan pergi."
Senyum itu perlahan memudar. Udara di sekitarnya berubah-dingin menjadi menusuk, angin mulai berputar di sekelilingnya. Bayangan di belakang ibunya membesar, menyerupai kabut hitam yang siap menelannya.
"Ibu!"
Kean berusaha meraih tangan ibunya, namun sebelum ia bisa menyentuhnya, tubuh ibunya mulai menghilang-seperti asap yang tertiup angin.
"Ibu!"
Suara Kean bergema di udara kosong. Kabut hitam itu menelannya, mencekik tubuhnya, menariknya ke dalam kegelapan.
Lalu, semuanya lenyap.
Kean tersentak bangun.
Napasnya berburu, dadanya naik-turun tak beraturan. Punggungnya masih menempel di pintu, keringat dingin membasahi pelipisnya.
Tapi yang paling menyakitkan adalah perasaan kosong yang tertinggal di dada.
Dia menunduk, menatap tangannya yang gemetar. Di dalam mimpi itu, dia hampir menyentuh ibunya. Sedikit lagi.
Tapi seperti biasa... dia selalu terlambat.
Kean menarik napas dalam-dalam, menekan dadanya yang terasa sesak. Hanya mimpi, katanya dalam hati. Hanya mimpi...
Tapi kenapa rasanya seperti kenyataan yang tak bisa ia lupakan?
Kean masih duduk di belakang pintu, malam masih berjalan, jantungnya berdetak tak beraturan. Nafasnya masih memburu, seolah paru-parunya belum menerima kenyataan bahwa ia sudah terbangun.
Tangannya terangkat, menyapu wajahnya yang basah oleh keringat. Dinginnya kayu pintu di punggung sedikit menenangkan, namun tidak cukup untuk memenuhi sesak di dada.
Dia menutup mata sejenak, mencoba menarik napas dalam-dalam.
Satu... dua... tiga...
Tarikan napas pertama masih bergetar.
Empat... lima... enam...
Tarikan napas kedua mulai lebih stabil.
Ia mengulanginya lagi berulang kali, seperti mencoba menarik dirinya kembali dari pusaran gelap di pikirannya.
Setelah beberapa menit, tubuhnya mulai rileks, meski malam dingin tetap menusuk. Dengan gemetar, dia mengangkat tangannya dan meraih liontin kecil dari sakunya. Liontin perak itu sudah lama ia simpan-satu-satunya peninggalan ibunya.
Jemarinya menggenggam benda kecil itu erat, seolah kehangatan ibunya masih tersimpan di sana.
"Maaf, Bu..." bisiknya nyaris tak terdengar
KAMU SEDANG MEMBACA
A R S E A N A
Random••• Tentang Arseana yang sudah mati namun menemukan dirinya yang lain masih hidup di dimensi berbeda dengan kisah hidup yang masih sama. Entah kenapa dirinya disini sudah mempunyai anak dan istri, keluarga nya sendiri yang dia pikir hanya impian yan...
