CHAP 7 : WHEN I SEE YOU AGAIN

1.4K 125 10
                                        

Sean sampai di Perancis, yang menjadi tempat tujuannya. Dia berjalan, mencari unit apartemen Kean sebelum kesini dia pergi ke rumah sakit terlebih dahulu. Leon yang senantiasa mendampingi nya.

Tepat di pintu apartemen Kean, Sean melamun menatap pintu itu dalam diam. Entahlah ada yang mengusik di pikiran nya. Hingga suara Leon memecah Lamunannya.

“Sebaiknya, kita pergi.”

Leon merasa ini semua sia sia... yang menjadi tuannya memang gila, orang sakit seperti ini berkeliaran bebas!

Mungkin orang orang tak akan mengira bahwa dia, Sean orang baru saja selamat dari maut—Dengan tampang nya yang dingin dan sorot matanya yang tajam.

Jika dilihat dari dekat dan lebih teliti, ada kerutan kesakitan di keningnya ditambah keringatnya, mengalir sebesar biji jagung.

Leon yakin tak ada yang akan sekuat dan segila Sean. Memaksakan diri untuk berjalan sendiri bahkan langkahnya tegas tidak goyah.

"Pergi! Leon."

Leon berdecak. "Aku akan mencari hotel disini, setelah ini."

"Pergi.. Pulang. Ke rumahmu." Kata Sean dengan penuh penekanan. Sabar, Leon hanya mengkhawatirkannya.

"Tidak bisa! saya akan pulang setelah anda." Balasnya. Leon tak menatap mata biru Tuannya, itu menatap tajam kearah nya.

Sean tak butuh Leon disini. Dia, tak akan menurunkan ego-nya untuk ini. "Perintahku! Pergi temui keluarga mu."

"Tentu tuan! Saya akan pulang ke Jakarta bersama anda!" Ego-nya juga besar, bukan dia saja. Ingat saat dia tiga hari tidak ada, apa yang terjadi pada Sean?

Kesabaran Sean habis. "Aku bilang pergi Leon! perlu aku ulangi dua kali. Apa perintah ku kurang jelas bagimu?"

Sean sudah jengah dengan perkataan Leon. Dirinya tidak selemah apa yang Leon pikirkan—Lain di hati Leon, yang bimbang. Dia tidak bisa meninggalkan Sean dengan kondisinya yang seperti ini.

Leon tahu dia menyadari makin banyak argumen yang dia keluarkan makin jengkel Sean. Itu pasti merusak kesehatannya jika sudah seperti ini—Leon hanya bisa pasrah menerima, mau membantah pun tak bisa.

"Sesuai perintah anda. saya permisi!!"

"Hubungi aku, Sean. Aku ... akan selalu menunggu."

Leon berbalik, melangkah menjauh dari Sean, ada rasa khawatir di benaknya, tapi dia tepis itu, dia paling tau bagaimana sikap Sean. Dia, keras kepala, egois.

Dia tahu. Temannya tidak akan jatuh atau mati begitu saja—Leon khawatir tentang apa yang di bicarakan dokter dan reaksi Kean setelah melihat Sean. Orang yang anggap saja menghilang sebulan yang lalu, sekarang ada di depan pintu?

Tapi, Leon harus mengesampingkan itu semua ini perintah tuannya. Sekarang tujuan nya rumah nya—Istri dan anaknya yang lama tidak ia jumpai.

Rasanya dirinya tidak tau diri, Leon yang bahagia melihat keluarga nya Dengan keadaan Sean yang seperti ini.

Pasti ini semua ada alasan nya. Sean tidak pernah memerintahkan hal yang tidak perlu dan sia sia—Sekarang dia hanya perlu menikmati hadiah yang diberikan Sean.

Sedangkan disini Sean, sedang berdebat dengan perasaan dan tubuhnya, dia benar benar tidak bisa menahan tubuhnya sendiri.

Mungkin orang lain melihat dirinya berjalan dengan langkah ringan seringan kapas. Tapi, sebenarnya yang dia rasakan tubuhnya Sangat berat setiap dia melangkah seperti ada Berton ton batu yang dia panggul.

Ditambah rasa sakit dari tembakan peluru di bahunya, juga Luka luka di sekujur tubuhnya cukup membuat Sean merasa tersiksa menahan nya.

"Alisya, bantu aku..."

A R S E A N ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang