CHAP 13 : MIDNIGHT RUNNERS 2

784 64 5
                                        

Suara guntur bersahutan, angin berhembus kencang. Untung saja hujan belum turun, Lean dan Aldi mencoba menunggu sejenak di trotoar jalan, berharap Angga menyusul mereka, sembari menunggu bus yang lewat.

Tergambar wajah cemas dan khawatir di wajah keduanya.

Mereka saling pandang sejenak, lalu tanpa bicara langsung berbalik dan berlari kembali. Jalan yang tadi mereka lewati kini terasa sepi dan lebih gelap dari sebelumnya.

Lumayan jauh tertinggal mungkin 300 m dari jalanan utama saat mobil itu lolos.

Cahaya lampu jalan menyorot sosok di sisi jalan. Angga terduduk dengan tubuh membungkuk, tangannya mencengkeram kaki kanannya yang bengkak parah.

"Angga!" Lean hampir terjatuh menghampirinya.  "Lo Kenapa Ga? Kaki Lo kenapa?" Lean bertanya mendekat pada Angga.

Aldi, ikut khawatir mencoba membuka sepatu Angga untuk melihat lebih jelas—terpampang lah kaki biru lebam di kaki kanan nya.

Angga mengangkat wajahnya, keringat bercampur debu. Matanya berkaca-kaca. "Kaki gue gak bisa digerakin. Sakit banget, Di...Le.."

"Tadi.. Gue jatoh. Lalu ketimpa besi penyangga disitu. Kayaknya ni kaki terkilir ya? atau lebih parah... Sakit ieumah aslina." Tambah nya. Dengan menahan rasa sakit di kakinya.

Lean khawatir, ekspresinya berubah panik. "Lo gak bisa jalan?"

Angga menggeleng pelan, rahangnya mengeras menahan nyeri. "Gue... nyoba tadi. Tapi langsung roboh. Maaf... gue ngerepotin kalian."

Angga merintih kesakitan. Lean disamping nya merasa iba. "Ngga.. Itu lutut Lo!" Katanya. Angga menarik celana panjangnya ke atas lutut nya, rasa perih menjalar—Lututnya sobek, darah mengalir dan biru di sekitarnya.

"Kita ga punya apa-apa buat nutupin lukanya. Gimana, Di?"

"Maaf, Le! Di! Gue nyusahin banget ya?"

Aldi membungkuk, membelakangi Angga. "Diem. Gak usah minta maaf. Gua gendong lu. Kita ga bisa lama-lama. Taikin Angga ke punggung gua, Le!" Lean mengerti. Sekarang mereka sudah benar benar terlambat entah apa yang akan di bicarakan dosen.

Angga menolak, dengan tegas. "Di... gue bisa tahan. Gak usah—"

"Lu udah cukup kuat tadi. Sekarang giliran gua," jawab Aldi tegas, suaranya bergetar sedikit. "Naik, Ngga."

Dengan bantuan Lean, Angga perlahan naik ke punggung Aldi, menggigit bibir menahan rasa sakit yang menusuk tiap gerakan. Aldi berdiri pelan, tubuhnya menegang menahan beban, tapi tak sekalipun ia mengeluh. Lean menenteng sepatu Angga yang di lepas.

Mereka mulai berjalan kembali ke arah Akpol, kembali ke jalan yang tadi mereka lewati melawan angin malam dan kelelahan yang menumpuk. Langkah Aldi mantap, Lean berjalan di sampingnya, sesekali menoleh memastikan Angga masih kuat bertahan.

Angga menunduk di punggung sahabatnya, suaranya nyaris tak terdengar. "Lo gila, Di. Tapi... makasih. Gue gak bisa sendirian tadi."

Aldi menoleh sedikit. "Lu gak pernah sendirian, Ngga. Kita bertiga—selalu bareng."

Lean menambahkan, pelan, tapi mantap. "Apapun yang terjadi, kita balik bareng. Gak boleh ada yang ketinggalan."

Angga terharu, merasa bersyukur mendapatkan teman seperti ini. "BTW—kita jadi saksi penculikan ini. Sebaiknya kita lapor polisi terdekat. Kita ga boleh kabur gini aja."

"Kaki Lo cedera. Angga! Ga usah macem macem." Aldi mengingatkan, dengan amarahnya. " Gue ga macem-macem. Cuma satu macem! Ini nyawa, Di! Kita ga bisa main main." Angga mencoba bernegosiasi, ibarat nya kita sudah jatuh kecemplung yaudah sekalian berenang.

A R S E A N ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang