CHAP 14 : SOMETHING JUST LIKE THIS

894 81 8
                                        


Paris-Prancis....

Kean mulai merasa muak dengan kota ini. Berjalan tanpa arah dengan banyak salju putih, saat kakinya mulai merasa lelah dia berhenti dan melihat kedepannya.

-Gereja Église Saint-Eustache.

"Sebaiknya aku mengadu pada tuhan." Katanya, Dirinya melangkah, masuk kedalam. Langkah Kean menggema pelan di antara tiang-tiang batu tua.

Ia memasuki Église Saint-Eustache, gereja megah di jantung Paris, tak jauh dari Les Halles. Udara di dalam terasa sejuk dan hening, hanya diisi bisikan doa dan cahaya lembut dari jendela kaca patri berwarna.

Kean berjalan pelan ke bangku kayu di tengah, duduk, dan menunduk. Tak ada doa panjang. Hanya satu kalimat lirih yang meluncur dari bibirnya-sebuah bisikan ke langit, entah untuk siapa.

"Aku mohon Tuhan kembalikan keluargaku, dan ayahku yang dulu."

Permintaan yang lainnya ia sampaikan dalam hatinya. Kean berjalan keluar dari gereja. Dengan hati tenang, berjalan, bersenggolan dengan orang lain.

Ternyata kakinya kembali ke taman Parc tempat tragedi itu terjadi, dia trauma dengan danau ini. Tapi entah mengapa, disini ia bisa mendapat ketenangan.

Dia, duduk di salah satu kursi. Pikirannya melayang saat kejadian di dapur, meneriakan apa yang ada di hatinya. Dulu, ia tak bisa mengatakan itu sekarang tersampaikan. Tapi kenapa hatinya merasa bersalah dan terluka?

"Your stupid Kean!"

Kean disana, hanya duduk melihat aktifitas orang lain yang sedang berjalan, bercengkrama, bercerita dengan orang terkasih nya, temannya. Cukup menyenangkan.

Jika diingat suasananya masih ada sisa Natal dan tahun baru. Pantas saja semua orang yang Kean lihat, nampaknya sangat bahagia.

Dua jam..

Empat jam... Dirinya berjalan, berkeliling dan duduk di sekitar taman. Salju mulai turun sedikit demi sedikit, orang orang satu persatu kembali ke rumahnya masing-masing.

Sampai Salju turun dengan lebat. Kean masih duduk santai menikmati kepingan salju yang turun menutupinya.

Payung hitam datang menutupi kepalanya, Reflek ia melihat kebelakang, ternyata ayahnya-Sean. Dia, duduk di sebelahnya. Tak ada kata terucap dari keduanya, Kean sibuk menatap ke depan dimana salju turun menutupi pohon pohon.

"Kean.. kau sudah menjadi pria besar, tanyakan apa yang ingin kau tahu. Jangan bermain permainan marah marahan itu tak cocok untuk mu."

Sean menambahkan. Mendongak ke arah nya.
"Mari kita berbicara seperti pria."

Suara Sean terdengar jelas di kedua telinganya-Kenapa seperti ejekan? Membayangkan ia bersikap seperti bocah smp membuat dia ingin menarik sudut bibirnya.

"Kenapa kau berubah? kenapa sikapmu berubah saat ibu pergi? rasanya dulu tak mungkin kau tega menelantarkan kami, tak peduli pada kami?"

"Keputusanmu tentang masa depan kedua adikku. Bukan kau yang menentukan tapi diri mereka sendiri"

"Bukankah dengan dirimu berubah kejam pada kami, ibu bakal kecewa disana? kau menyakiti hati kami pak tua, dan itu menyakiti hatinya disana. Dari dulu." Ungkapnya.

Suara deru angin terdengar, membawa kepingan salju dengan cepat.

Sean diam, dia belum merespon. Seolah berpikir atau mengingat kejadian yang ingin ia lupakan, iya. Sudah ia putuskan untuk membuat gencatan senjata untuk selamanya dengan anaknya.

Ia akan menjawab apa yang Kean tanyakan, menceritakan apa yang perlu Kean tahu dari kisah hidupnya. Sudah saatnya pikir nya.

Kean menoleh kearah Sean tatapannya penuh tanya tapi ekspresi yang dia keluarkan-dingin "Ada apa dengan tiga tahun lalu?" Tanya nya.

A R S E A N ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang